DEMOKRASI.CO.ID - Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 menuai polemik dan dianggap sebagai langkah mematikan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Pasalnya, dalam surat tersebut, berisikan aturan untuk mempidanakan segala bentuk pendapat yang diduga penghinaan kepada Presiden Joko Widodo dan pejabat negara.
"Aparat hukum harus dan wajib taat hukum dan sangat dilarang tafsirkan hukum menurut selera sendiri," ujar Ketua Majelis Hukum MUI, Anton Tabah Digdoyo kepada redaksi, Rabu (8/4).
Kritik Anton Tabah bukan tanpa alasan. Dia menyebutkan bahwa bab pasal penghinaan presiden sudah dihapus melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
"Ingat, MK melalui putusan nomor 013-022-PUU-IV/2006 telah batalkan pasal KUHP yang menghina presiden seperti pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 ayat (1). Dan Pasal tersebut dalam RKUHP sudah berubah jadi delik aduan," jelasnya.
Anton yang juga purnawirawan Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal menyebutkan, kalaupun ada penghinaan maka harus ada laporan. Bukan penegak hukum asal responsif dan melakukan penangkapan.
"Jadi, orang yang merasa dihina itu harus mengadu ke aparat, bukan aparat langsung menindak tanpa ada aduan," tegasnya.
"Aparat tidak boleh nafsirkan sendiri jika si fulan dihina atau terhina. Kalau aparat tafsirkan sendiri, itu merusak hukum demokrasi namanya," sambungnya.
Lanjutnya, pejabat negara memang tidak akan lepas dari krtik pedas dari publik. Hal tersebut harus diterima juga, disamping menikmati fasilitas negara.
"Jangan terima yang enak-enak saja, yang tak enakpun harus siap (diterima). Itulah demokrasi," pungkasnya. (Rmol)