DEMOKRASI.CO.ID - Ada tiga hal penting di balik mundurnya Adamas Belva Syah Devara dan Andi Taufan Garuda Putra sebagai Staf Khusus Presiden Joko Widodo.
Menurut pandangan Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun, pertama yakni menandakan manajemen Stafsus Presiden Joko Widodo sangat buruk.
"Artinya, Presiden Jokowi juga bermasalah karena tidak mampu memanage mereka dengan baik," kata Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (24/4).
"Kedua, cara kerja stafsus tidak mengindahkan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen modern yang meniscayakan tunduk pada prinsip-prinsip good governance, tata kelola birokrasi pemerintahan yang baik," sambungnya.
Ketiga, mundurnya Belva dan Taufan menunjukkan Stafsus Milenial minim integritas, terlebih sepak terjang keduanya berujung polemik di mana Ruangguru milik Belva menjadi mitra program Kartu Prakerja. Kemudian polemik surat Andi Taufan yang 'menitipkan' perusahaannya, yakni Amartha kepada camat seluruh Indonesia untuk menjadi bagian relawan Covid-19.
"Ada konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang dalam pekerjaan mereka. Fakta itu menunjukan bahwa mereka cenderung mengabaikan integritas," jelas Ubedilah.
Bagi Ubedilah, ketiga hal tersebut merupakan problem yang menyangkut pelanggaran hukum, yakni maladministrasi dan dugaan mark up biaya pelatihan.
"Maka untuk pembelajaran bagi anak muda generasi milenial harusnya Andi Taufan dan Belva diproses secara hukum, dibawa ke meja pengadilan. Jika mengarah pada tindakan pidana, sebenarnya aparat kepolisian bisa saja menangkap sementara yang bersangkutan," tegas Ubedilah.
Jika hal ini tidak diproses, maka bukan tidak mungkin menjadi preseden buruk yang akan melekat di benak masyarakat.
"Itu akan menjadi preseden buruk yang akan dicontoh milenial dan akan diingat milenial bahwa maladministrasi dan proyek akal-akalan itu tidak apa-apa karena tidak dihukum," pungkas Ubedilah.(rmol)