OLEH OLIVER HAIRCUT
Siang itu #SawitBaik menjadi trending topic di Twitter. Perasaan dilematis terbit di benak saya.
Di satu sisi, saya ingin mengecam kampanye amis di tengah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengakibatkan 919.516 orang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Tapi pada sisi yang lain, saya tidak ingin kehilangan pekerjaan gara-gara merecoki teman-teman saya yang sedang nge-buzz.
Iya, mereka yang mengkampanyekan #SawitBaik adalah teman-teman saya, sesama buzzer.
Tidak mudah bagi saya untuk mengambil sikap yang berseberangan dengan percakapan buzzer. Sebab tiga tahun belakangan ini saya makan dari kerja-kerja semacam itu. Tiga tahun jadi waktu yang cukup bagi saya untuk menyadari bahwa saya mudah didepak oleh agensi jika terlihat menyebalkan. Lagipula syarat untuk menjadi buzzer sangat mudah; hanya perlu memiliki akun media sosial dan cepat merespon ketika brief diberikan.
Saya berkenalan dengan industri ini melalui teman-teman saya di komunitas blogger. Awalnya, saya hanya menerima konten pesanan di blog. Itu pun hanya untuk mengulas produk dan content placement. Saya tergiur untuk menyelami pekerjaan ini lebih dalam. Karenanya, saya merantau ke Jakarta untuk mendapat peluang yang lebih besar.
Pada bulan kedua saya di Jakarta, sebuah agensi mengundang saya untuk menghadiri acara pemerintah. Acara itu berkonsep pameran, di mana masing-masing instansi pemerintah memamerkan program kerja, prestasi, dan yel-yel boomer-nya.
Beberapa instansi yang terlibat dalam acara itu adalah Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantas Korupsi, Peradilan Agama, Badan Narkotika Nasional, dan masih ada delapan lainnya. Di dalam acara itu, ada juga sesi diskusi tentang hoaks dan pencemaran nama baik yang difasilitasi oleh Kemkominfo.
Di situ saya ditugasi untuk menulis tentang acara tersebut untuk diterbitkan di blog saya. Saya juga diminta berkampanye melalui akun media sosial pribadi tentang percakapan diskusi. Acara ini merupakan momen pertama kalinya saya mendengungkan program pemerintah.
Sebenarnya saya tidak punya latar belakang ilmu politik, hukum, atau kapasitas apapun yang diperlukan dalam perbincangan soal pemerintahan. Saya sempat berpikir untuk berhenti. Tapi saya sudah “terlanjur basah”.
***
Setiap hari saya selalu membuka grup-grup buzzer yang ada di Facebook dan WhatsApp agar memperoleh proyek nge-buzz. Walau begitu, tidak setiap hari proyekan itu ada. Kalaupun ada, profil saya belum tentu sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan oleh klien. Biasanya, klien meminta jasa buzzer dengan mempertimbangkan spesifikasi tertentu seperti domisili, jenis kelamin, umur, hingga jumlah pengikut dan engagement rate di media sosial.
Ketika saya lolos semua persyaratan itu, lantas saya dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya para buzzer terpilih dan koordinator dari agensi. Di dalam grup ini, koordinator menjelaskan secara teknis tentang apa yang harus kami lakukan dan tidak boleh kami lakukan. Satu hal yang jarang dijelaskan oleh koordinator adalah siapa klien yang sedang memesan jasa nge-buzz ini. Seperti kampanye #NetflixTidakAman, misalnya.
Walau saya telah lama melakukan pekerjaan ini, namun saya tidak seratus persen paham tentang logika para klien. Contohnya di Twitter. Keberhasilan buzzer di Twitter menurut klien biasanya dilihat dari tagar tertentu yang sukses menjadi trending topic.
Supaya sukses, kami biasanya mencuit secara membabi buta dengan menyertakan tagar kampanye dalam kurun waktu tertentu, biasanya sekitar 1 hingga 2 jam. Beberapa pemesan malah sudah menyiapkan template cuitan yang tinggal disalin-tempel oleh buzzer.
Namun, ada cara lain yang dilakukan agar menjadi trending topic: menggunakan “kuis giveaway”. Metode ini minim tenaga dan ongkos.
Dengan iming-iming hadiah tertentu, metode giveaway ini mengharuskan siapa pun yang tertarik untuk melakukan retweet, likes, dan menjawab pertanyaan kuis dengan menyertakan tagar yang seringkali tidak berhubungan dengan pertanyaan kuisnya. Cara ini ternyata cukup efektif untuk menempatkan tagar di puncak percakapan. Hal ini didorong dengan banyaknya akun “giveaway hunter” di Twitter.
Menggunakan metode giveaway untuk menjadi trending topic adalah salah satu upaya memanipulasi perbincangan publik. Sebab, algoritma Twitter bekerja seperti biang gosip, di mana ia akan mengangkat sebuah kata ke papan trending topic ketika kata itu banyak dicuitkan dalam waktu yang relatif singkat.
Misalnya, jika #OmnibusLawItuBaik dicuitkan 1.000 kali dalam kurun waktu satu jam, maka tagar itu berpotensi mengungguli tagar lain yang dicuitkan 5.000 kali dalam 6 jam. Penempatan tren ini hanya berorientasi pada kata, bukan pada esensi percakapannya. Walau efektif mengangkat isunya tapi cara ini jelas tidak efektif untuk memperoleh diskusi yang substansial.
Beberapa teman buzzer biasanya menghapus cuitan mereka jika tagar yang dikampanyekan sudah mencapai target. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Tapi saya menduga karena mereka sudah mendapatkan pemenangnya atau telah dihapus paksa oleh Twitter karena banyak yang melaporkan. Atau bisa juga untuk menghilangkan jejak agar berhenti dimaki-maki oleh publik yang terganggu dengan praktik ini. Pola ini pernah tertangkap oleh Drone Emprit.
Jika kuis giveaway belum berhasil memanipulasi percakapan di Twitter, maka kami harus mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu dengan membegal topik-topik lain di papan trending dengan memanfaatkan fitur report trend as spam.
Dengan trik ini, ada kemungkinan Twitter akan melenyapkan topik itu dari klasemen sehingga topik lain bisa menempati posisinya. Lucunya, cara ini ternyata dilakukan dengan memegang “kode etik” di kalangan buzzer. Yaitu hanya boleh membegal kata-kata trending yang dirasa tidak relevan dengan percakapan publik. Seperti percakapan tentang K-Pop, misalnya.
Ada juga trik lain di mana satu orang membuat banyak akun buzzer sekaligus. Kami biasa menyebutnya “ternak akun”.
Dengan cara ini, suatu narasi dapat tersalurkan lewat banyak mulut seolah-olah topik itu diperbincangkan oleh banyak orang. Walau hampir mirip dengan kloningan akun bot, tapi peternakan akun yang dikelola oleh teman-teman saya lebih sulit diidentifikasi sebab mereka benar-benar menciptakan personal branding yang berbeda pada setiap akunnya.
Praktik-praktik nge-buzz di atas sampai hari ini masih sering diperdebatkan. Banyak juga teman-teman buzzer dan agensi yang tidak setuju dengan itu. Tapi perdebatan ini tidak pernah berujung pada kesepakatan “cara main” yang benar. Sebab perdebatannya selalu berakhir pada kesimpulan “kembali ke masing-masing aja”.
***
Beberapa hari lalu, kenalan saya sesama buzzer mengungkapkan kekesalannya. Ia kesal karena ia dimaki-maki oleh orang asing. Pangkal soalnya adalah karena ia “memuji” pemerintah di akunnya.
Saya menyadari, semakin banyak pesanan buzzing dari pemerintah untuk meredam amukan warga bagi saya justru merupakan strategi buruk karena semakin menyulut amarah yang lain. Dalam menghadapi caci-maki, buzzer yang tidak berlindung di balik akun anonim harus memproteksi diri sendiri. Klien maupun agensi tidak pernah menjanjikan bantuan keamanan dalam kerja-kerja seperti ini. Bantuan maksimal yang mereka bisa berikan hanyalah kata-kata motivasi untuk selalu positive thinking.
Selain serangan dari sesama warga, pekerjaan ini juga rentan dengan jeratan UU ITE. Buzzer bisa saja mendistribusikan informasi palsu atau terjebak pencemaran nama baik yang tidak ia sadari. Hal ini mungkin terjadi jika buzzer tidak sempat atau malas mempelajari brief—yang biasanya baru dikeluarkan beberapa saat sebelum nge-buzz dilakukan.
Meski potensi risiko itu ada, tapi saya belum pernah dengar ada klien atau agensi yang menjamin bantuan hukum bagi buzzer-nya dari jeratan UU ITE.
Beberapa teman saya mulai memutuskan untuk mengurangi atau sama sekali menolak proyek nge-buzz berbau politik. Namun masih banyak lainnya yang tidak memfilter proyekan itu. Dalam sebuah kelakar, saya sering memanggil mereka dengan sebutan Suicide Squad.
Bagaimana tidak? Satu cuitan saja bisa mengundang makian seantero negeri dan bisa juga masuk bui karena UU ITE. Padahal, honor yang didapat hanya cukup untuk satu kali kencan.