DEMOKRASI.CO.ID - Keputusan Presiden Jokowi menarik pembahasan kluster ketenagakerjaan dari pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja disambut gembira kalangan buruh. Pada sisi lain, di kalangan dunia usaha bisa sebaliknya.
Dikatakan Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship (IDE) Sutrisno Iwantono, ada konsekuensi dari keputusan Presiden Jokowi tersebut.
"Setelah pandemi Covid-19 berakhir, Indonesia bakal membutuhkan suatu penggerak baru dalam menata ekonomi. Akibat wabah Corona ini, tidak terelakkan, akan terjadi ledakan pengangguran yang luar biasa," ujar Sutrisno Iwantono kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (35/4).
.
Persoalan tersebut, tentu ini harus disiapkan antisipasinya sejak dini. Menggantungkan harapan kepada dunia usaha setelah Covid-19 berakhir, menurut Sutrisno, juga tidak banyak menjanjikan.
"Jangankan untuk menampung pertambahan angkatan kerja baru, yang ada saja terjadi PHK," ujar Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) tersebut.
Sutrisno menambahkan, membangkitkan kembali perekonomian pasca Covid-19, tidak gampang. Apalagi, jika durasi penanganan pandemi memakan waktu cukup panjang. Tantangan ini perlu diantisipasi secara dini agar tidak menimbulkan persoalan sosial yang dampaknya bisa merembet kemana-mana.
"Omnibus law Ciptaker bisa sebagai antisipasi dini, dan yang paling krusial justru di kluster ketenagakerjaan," tambah dia.
Sutrisno mengatakan, pembahasan omnibus law harus terkait langsung dengan upaya untuk membangkitkan puing-puing ekonomi ini. "Jadi mestinya kita tidak hanya melihat pada kepentingan satu sisi saja, harus mau berkorban untuk kepentingan yang lebih luas."
RUU omnibus law sejak awal memang menjadi inisiatif pemerintah, dimana pemerintah mempersiapkannya untuk waktu yang lama termasuk mengajak dunia usaha. Tujuan utamanya untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang sangat banyak yang perlu lapangan pekerjaan.
"Kalau pemerintah menunda (kluster ketenagaakerjaan di omnibus law) tentu itu hak pemerintah untuk melakukan itu," katanya.
Akan tetapi, Sutrisno mengingatkan, yang perlu dicermati adalah fakta bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapaai 133 juta orang dimana, 126 jutaan diantaranya adalah pekerja.
"Dari jumlah itu, pekerja formal sekitar 56 juta dan pekerja informal 70 jutaan orang."
Di antara penduduk yang bekerja tersebut, ada pekerja paruh waktu sebanyak 28,5 juta orang, setengah menganggur 8,14 juta orang dan pengangguran penuh 7,05 juta orang. Dengan demikian, jumlah orang yang tidak bekerja di bawah normal mencapai 45 juta orang.
"Belum lagi setiap tahun terjadi pertambahan angkatan kerja baru sekitar 2,3 juta orang," sebutnya.
Sutrino menambahkan, tujuan pemerintah sedari awal adalah bagaimana mengangkat derajat sebagian besar penduduk yang masih tidak normal dari sisi pekerjaan tersebut.
Lantas, apakah pembahasan omnibus law apa bisa dilanjutkan tanpa klaster tenaga kerja? "Kita tunggu dulu kira-kira seperti apa penjelasan pemerintah lebih rinci menyikapi ini," ujar dia.
Sutrisno juga memberi sedikit catatan terkait penyediaan lapangan kerja, dimana persoalan hambatan investasi yang menjadi tantangan utama.
"Persoalan utama investasi adalah aturan yang ruwet, tumpang tindih, tidak efisien dan mahal. Hal ini yang akan diperbaiki. Tanpa investasi tidak akan terjadi penciptaan lapangan kerja," ujar dia.
Sutrisno menambahkan, 70 jutaan angkatan kerja beradanya pada sektor informal, usaha ultra mikro, usaha mikro, usaha kecil dan menengah.
"Sehingga pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah ini menjadi kata kunci juga dalam omnibus law," ujar dia.
Lantas, apakah RUU Ciptaker tetap bisa dilanjutkan dengan meninggalkan masalah ketenagakerjaan? "Persoalan ini kan terkait satu sama lain dan mestinya dijalankan secara komprehensif," tandas Sutrisno Iwantono. (Rmol)