DEMOKRASI.CO.ID - Minggu malam tanggal 22 April yang lalu, aktivis dan peneliti kebijakan publik Ravio Patra ditangkap Polda Metro Jaya.
Penangkapan itu sempat viral karena banyak menimbulkan pertanyaan seputar penangkapannya. Kabar yang beredar, dia ditangkap karena dianggap telah membuat onar/ provokasi kerusuhan melalui watshap yang dikirimkannya.
Tetapi menurut pengakuannya, akun WhatsAppnya diretas secara misterius beberapa jam sebelumnya penangkapan dirinya. Siapa sebenarnya Ravio Patra?, Mengapa polisi menangkapnya? Siapa pula kira kira yang meretas akun watshapnya?. Mengapa pada akhirnya dia dilepas oleh pihak yang menangkapnya?.
Apakah penangkapan itu bagian dari upaya pembungkaman aktifis ditengah pandemi virus corona?
Siapa Ravio Patra?
Ravio Patra memasang profil sebagai advokasi hukum & peneliti kebijakan publik, seperti terpajang di akun Linkedin-nya. Dia tercatat sebagai pendukung Yayasan Westminster untuk Demokrasi (WFD) dalam mengimplementasikan proyek pengawasan legislatif di Indonesia.
Proyek ini bertujuan untuk membantu anggota parlemen baik di tingkat nasional (DPR) dan sub-nasional (DPRD) untuk menciptakan proses legislatif yang lebih bertanggung jawab dan inklusif dan mencegah/memperbaiki undang-undang dan peraturan yang bermasalah atau yang mengandung unsur diskriminatif di substansinya.
Ravio juga melakukan penelitian dalam pengembangan dan implementasi rencana aksi pemerintah terbuka di Indonesia untuk Mekanisme Pelaporan Independen (IRM) dari Open Government Partnership (OGP).
Ravio lulusan hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran angkatan 2011 dan lulus pada 2015 dengan predikat cum laude.
Ia menjadi presiden klub yang memenangkan lomba debat yang digelar Universitas Islam Indonesia. Selain itu, meraih juara dua debat nasional politik yang digelar Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sejak mahasiswa, Ravio aktif dalam diskusi dan penelitian ilmiah. Dia menjadi asisten pengajar sarjana: memfasilitasi diskusi kelompok hingga memberikan perkuliahan. Dia juga memimpin redaksi jurnal mahasiswa hubungan internasional, Esensi.
Salah satu makalahnya berjudul "Agenda Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 dalam Semangat Egalitarianisme Global."
Ravio pernah menjadi pemakalah terbaik saat mewakili Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad dalam pertemuan nasional mahasiswa hubungan internasional ke-24 di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 2012.
Judul makalah Ravio adalah "Prinsip Nonintervensi dalam Resolusi Krisis Kemanusiaan Rohingya: Kajian terhadap Keamanan Manusia dan Urgensi Legitimasi Badan HAM ASEAN.
"Kami sendiri mengajukan usul bahwa penyelesaian masalah kemanusiaan di suatu negara Asia Tenggara perlu diselesaikan dengan ada satu keberadaan negara HAM di Asia Tenggara,” kata Ravio pada 2012, dikutip dari situs resmi Unpad.
Setahun setelahnya, ia mengikuti prosiding nasional mahasiswa hubungan internasional di Universitas Andalas. Karya ilmiahnya bertajuk "Gerakan Separatis sebagai Tantangan bagi Diplomasi Indonesia di Era Paradox of Plenty."
Ravio terlibat dalam Youth Network on Violence Against Children pada 2016 hingga 2018. Organisasi para pemuda melawan kekerasan terhadap anak ini adalah mitra United Nations Children`s Fund (UNICEF).
Dia juga sempat bekerja selama setahun di The Jakarta Post di bagian strategi eksekutif. Selain itu, dia menulis untuk Magdalene, media independen berfokus pada isu gender dan perempuan. Di antara tulisannya mengkritik kemenangan Trump dan gerakan feminis.
Ravio pernah bekerja untuk Open Government Partnership (OGP) pada akhir 2017. Lembaga ini bertujuan mendorong implementasi forum kepemimpinan Asia-Pasifik mengenai pemerintahan terbuka untuk pembangunan inklusif.
Secara bertahap, ia bertugas sebagai konsultan hingga peneliti di Independent Reporting Mechanism (IRM).
Keseharian Ravio adalah melakukan riset pustaka, wawancara perwakilan pemerintah dan non-pemerintah, menghimpun informasi kredibel dari organisasi lain, jurnalis, hingga akademisi.
Salah satu temuan yang diteliti Ravio, sepanjang 2016 hingga 2017, adalah tata kelola data di berbagai tingkatan pemerintah Indonesia yang buruk.
Melalui analisis mendalam, ia menyampaikan beragam solusi untuk merinci aturan baku dan bekerja sama dengan berbagai institusi maupun organisasi, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengapa Polisi Menangkapnya?
Ravio ditangkap Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran berita onar yang menghasut pada tindak kekerasan dan kebencian. Ravio dianggap telah menyebarkan pesan yang bernada menghasut sehingga meresahkan mereka yang menerima pesannya. Karena itu Ravio kemudian dilaporkan ke polisi oleh seseorang yang telah menerima pesan watshapnya.
“Benar bahwa Polda Metro Jaya telah menerima laporan, ada saksi inisial DR, dia menyampaikan laporan ke PMJ bahwa dia menerima WA dari seseorang,” ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono melalui siaran langsung di akun Youtube Tribrata TV Humas Polri, Kamis (23/4/2020) seperti dikutip dari Kompas.com.
Adapun pesan wathsap dari nomor Ravio yang dikirimkan ke sejumlah nomor tidak dikenal itu berbunyi, "KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DI DEKAT KITA BEBAS DIJARAH”.
Namun banyak yang meyakini Ravio ditangkap bukan semata mata karena pesan watshap yang telah dikirimkannya tetapi karena aktifitasnya yang sering mengkritisi kebijakan penguasa.
Di Twitter, Ravio pernah mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar yang diduga kuat terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua. Teranyar, ia menulis esai kritik terhadap penanganan pandemi COVID-19 di media Tirto.id.
Terkait dengan kasus Ravio, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) @KontraS memberikan keterangan latar belakang sebelum peristiwa penangkapan.
Kontras menyebutkan bahwa Ravio Patra adalah aktivis yang menyoroti kebijakan pemerintah. Sebelum ditangkap 22/04/2020 antara pukul 21.00-22.00, dan sebelum akun diretas; Ravio diketahui mengkritik konflik kepentingan Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar dalam proyek pemerintah di Papua.
Dalam kapasitasnya sebagai Steering Committee Open Government Partnership (SC OGP), Ravio juga mengkritik pemerintah dalam penanganan wabah penyakit Covid-19 melalui media tirto.id.
Selain menyinggung Stafsus Billy Mambrasar, Kontras juga menyinggung artikel di seword.com yang mengangkat topik adanya penghasutan yang dilakukan oleh akun atas nama Ravio.
Seword.com adalah platform blogger pro-Jokowi yang kerap berseberangan dengan pihak oposisi dan aktivis yang mendiskreditkan pemerintah yang sedang berkuasa.
Sehingga bisa saja semua sandiwara ini dibuat karena selama ini Ravio mengkritik negara. Tapi kritik yang dikemukakan Ravio selama ini sepertinya berbasis data, semuanya bisa dipertanggungjawabkan olehnya.
Kritikannya tidak muncul dari udara kosong, awang-awang yang muncul dari mimpi siang bolong. Kalau kritiknya itu hanya mengada ada alias bohong isinya tentunya akan lain konskuensinya.
Ditangkapnya Ravio juga menunjukkan satu hal, yaitu keamanan siber seperti omong kosong belaka. Tidak ada yang masuk akal dari dibobolnya sebuah akun yang punya keamanan dua langkah plus sidik jari.
Jelas ini bukan perbuatan iseng, pelakunya tentu bukan orang sembarangan. Mereka sepatutnya punya “akses tidak terbatas”.
Dengan kasus Ravio ini sepertinya segala tindakan yang mengatasnamakan keamanan siber oleh negara menjadi terbantahkan dengan sendirinya. Wajar kalau Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok) yang terdiri dari lembaga lembaga seperti :(SAFEnet, YLNHI LBH Jakarta, LBH Pers, KontraS, AMAR, ICW, Lokataru, AJAR, Amnesty International Indonesia, ICJR), meyakini bahwa motif penyebaran wathshap keonaran itu adalah plotting untuk menempatkan Ravio sebagai salah satu pihak yang dijebak seolah-olah dia yang mengagitasi untuk membuat kerusuhan.
Selama pandemic corona ini beberapa orang aktivis memang ditangkap dengan tuduhan penghasutan atau pembuat keonaran di tengah merebaknya virus corona. Sebagai contoh 3 mahasiswa aktivis Aksi Kamisan ditangkap polisi di Malang, Jawa Timur, Minggu (19/4) akhir pekan lalu.
Mereka ditangkap atas dugan melakukan vandalisme yang menghasut kepanikan masyarakat di tengah pandemi virus corona covid-19. Polisi menyebut ketiganya memiliki motif kekecewaan terhadap sistem kapitalis dengan membuat coretan "Tegalrejo Melawan" di 6 titik di Malang.
Ketiganya dijerat UU I/1946 tentang peraturan hukum pidana pasal 14 dan 15, serta pasal 160 KUHP dengan hukuman penjara 10 tahun. Fitron, Saka dan Fian selama ini aktif mengikuti Aksi Kamisan yang giat menyuarakan hak asasi manusia dengan melakukan aksi diam di depan Balai Kota Malang setiap Kamis sore.
Khusus Fitron, dia adalah jurnalis pers mahasiswa yang sering meliput perjuangan warga yang menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan Salakan serta kampanya Save Lakardowo di mana pembuangan limbah berbahaya oleh PT. PRIA di Mojokerto mengganggu kesehatan bagi warga sekitar pabrik.
Akun Watshapnya Diretas
Informasi yang terungkap adalah bahwa sebelum pesan berantai itu tersebar, Ravio telah mengadu ke SAFEnet soal dugaan ponselnya telah diretas. Beberapa waktu sebelum ditangkap, Ravio, melalui akun sosial medianya sudah memberikan keterangan bahwa akun WhatsApp-nya dibobol dan ia sempat kehilangan kendali atasnya.Sebenarnya soal akun watshap yang diretas itu bukan dia saja yang mengalaminya.
Informasi yang dihimpun oleh DW Indonesia mengabarkan bahwa akun WhatsApp aktivis HAM Evan Putro juga mengalami hal serupa. Kepada DW Indonesia, Evan mengaku mengalami percobaan peretasan saat WhatsApp Ravio diretas, WhatsApp milik dirinya sempat coba diretas oknum tak bertanggung jawab.
“Tiba-tiba aku dapat SMS dari WhatsApp isinya OTP (One-Time Password) sampai dua kali,” ungkap Evan saat diwawancarai DW Indonesia, Jumat (24/04).
Namun Evan mengatakan ia berhasil mencegah WhatasApp-nya diretas. “Tahu aku dapat OTP itu, aku langsung tanya beberapa teman yang kerja di LSM HAM, dan dia saranin untuk pakai verifikasi dua langkah dan keluar dari WA di laptop,” papar Evan yang aktif di komunitas 100% Manusia.
Selain Evan, Ketua BEM Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho, juga mengalami hal serupa. Dalam kicauan di akun Twitter-nya, tampak Fajar membagikan unggahan layar ponselnya ketika WhatsApp-nya diretas pada Kamis (23/04) pagi.
Sampai disini yang kemudian menjadi pertanyaan adalah siapa kira kira pihak yang telah meretas akun wathsapnya? Pertanyaan ini ternyata juga telah membuat penasaran Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari yang mendesak Polri untuk terlebih dahulu menelusuri informasi adanya peretasan terhadap aplikasi pesan WhatsApp milik Ravio Putra.
Permintaan serupa juga disampaikan Koalisi masyarakat sipil yang mendesak kepolisian segera mengusut dan menangkap pelaku peretasan akun WhatsApp milik peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi, Ravio Patra.
Koalisi juga mendesak kepolisian bersikap profesional dan menghentikan tuduhan terhadap Ravio.
"Kepolisian harus segera menangkap peretas sekaligus penyebar berita bohong melalui akun WhatsApp Ravio," kata Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam keterangannya, Jumat (24/4).
Pengungkapan terhadap siap pelaku peretas akun watshap Ravio menjadi lebih urgen ketimbang menangkap Ravio yang diduga membuat onar lewat pesan berantai melalui ponselnya. Sebab kalau tidak maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Banyak aktivis dan pengamat hukum menyatakan demikian seperti Aldo Kaligis,Anggota tim advokasi Amnesty International Indonesia. Ia mengatakan bahwa penangkapan Ravio Patra merupakan preseden buruk dalam upaya penegakan hukum.
“Ini adalah preseden buruk penegakan hukum. Polisi seharusnya lebih jeli dalam melihat suatu kejadian dan dapat membedakan mana korban mana pelaku, serta tidak begitu saja melakukan penangkapan,” kata Aldo melalui keterangan tertulis yang dikutip kompas.com, Kamis (23/4/2020).
Harus diakui pengungkapan siapa sebenarnya pelaku peretas akun watshap itu bukan perkara mudah. Karen sudah jelas pelakunya adalah orang yang menguasi teknologi informasi dan kemungkinan memiliki akses terhadap kekuasaan negara.
Kasus seperti ini sebenarnya pernah terjadi beberapa waktu lalu yang menimpa Habib Riziek Shihab yang sekarang masih ada di Saudi Arabia. Hingga saat ini, kepolisian masih kesulitan mencari sumber yang menyebarkan chat mesum Rizieq Shihab.
Pihak Polda menduga, dalangnya adalah hacker terkenal, Anonymous yang berada di Amerika. Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan saat itu mengatakan, penyebar konten chat seks tersangka Rizieq Shihab dan Firza Husein berasal dari kelompok peretas atau hacker yang mengatasnamakan diri sebagai Anonymous.
Berdasarkan penelusuran penyidik pula, diketahui domisili penyebar awal konten mesum itu di Amerika. Karena itulah, Iriawan mengaku kesulitan untuk menangkap pelakunya.
“Karena dari luar, enggak gampang. Kalau di dalam negeri enak, kami bisa langsung. Kalau luar kan kami mesti koordinasi dengan pihak Amerika,” kata Iriawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (8/6).
Apakah peretas akun watshap Ravio itu nantinya juga kemungkinan berasal dari mancanegara sehingga sulit untuk mengungkapnya ?
Akhirnya Dilepaskan
Peneliti kebijakan publik Ravio Patra yang ditangkap diam-diam oleh aparat Polda Metro Jaya pada Rabu (22/34) pukul 21.00 di Menteng, Jakarta Pusat, akhirnya dibebaskan pada Jumat (24/4) pukul 08.30 WIB. Total, dia ditahan selama 33 jam dan menjalani dua kali sesi interogasi.
Wakil Ketua Advokasi YLBHI Era Purnama Sari yang mendampingi Ravio selama proses pemeriksaan menyatakan bahwa selama proses hukum Ravio berlangsung, ia mencatat ada beberapa pelanggaran yang terjadi. Era mengaku bahwasannya tim penasihat hukum Ravio awalnya sulit mendapatkan informasi keberadaan ravio.
“Kita baru bisa mengakses Ravio kemarin pukul 15, sejak pagi kawan-kawan tim penasihat hukum sudah di Polda tapi semua subdit mengatakan nama Ravio tidak ada register,“ terangnya.
Proses penangkapan dan penggeledahan terhadap Ravio juga dinilai tidak sesuai prosedur. Polisi tidak mampu memberikan dan menunjukkan surat penangkapan dan pengeledahan.
Berdasarkan keterangan yang Era berikan kepada DW Indonesia, status hukum Ravio juga berubah-ubah. Ravio sudah menjalani pemeriksaan pada tanggal 23 April dari pukul 03.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB dengan status tersangka, namun pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB ia kembali diperiksa sebaga saksi.
Selain itu pasal yang dituduhkan juga berubah-ubah dan tidak relevan dengan pemeriksaan. Ravio awalnya dikenakan Pasal 28 ayat 1 UU ITE tentang "berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik" menjadi Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang "ujaran kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat berdasarkan SARA." Hal ini diketahui ketika Ravio menantandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Sekurang kurangnya ada dua alasan mengapa Ravio akhirnya dibebaskan oleh pihak kepolisian. Yang pertama bisa jadi karena tuduhan bahwa di menyebarkan keonaran lewat wathsap ponselnya tidak bisa dibuktikan atau lemah pembuktiannya atau yang kedua karena derasnya tuntutan untuk membebaskan dirinya dari para aktivis maupun masyarakat pada umumnya.
Sepertinya alasan yang disebut kedua itu lebih kuat untuk membebaskannya. Karena bukan hanya masyarakat umum saja yang menyuarakannya tetapi juga banyak aktivis yang memberikan suaranya minta supaya Ravio dibebaskan aparat yang menankapnya.
Seperti diketahui ada ribuan orang menyuarakan #BebaskanRavio melalui petisi di laman Change.org, usai Ravio Patra diamankan aparat keamanan, Rabu (22/4) malam. Di laman tersebut banyak uneg uneg yang disampaikan oleh warga net terkait dengan penangkapan Ravio.
“Penangkapan Ravio ini membuat saya geram, terutama di tengah situasi COVID-19 dimana masyarakat membutuhkan transparansi informasi, khususnya dari Pemerintah. Kalau dilihat dari kronologisnya, peretasan dan penyebaran itu terkesan untuk mengkambinghitamkan Ravio sebagai penyulut kerusuhan. Pemerintah harus pastikan perlindungan hukum warga negara sesuai UUD 1945,” kata Ryan.
Beberapa pendukung petisi #BebaskanRavio mengingatkan pentingnya keterbukaan informasi. Karena itu, tidak boleh ada pembungkaman karena itu adalah bentuk penghianatan."#JANGANMAUDIBUNGKAM!
Hari ini Ravio, bisa jadi besok orang yang kita kenal. Terlalu rendahan dan picik memfitnah orang cerdas dan kritis menjadi anarko ugal-ugalan melakukan penjarahan.
Tolong pihak aparat mengingat kasus WAG PALSU yang mengatasnamakan anak STM terkait demo beberapa waktu lalu. Nomor-nomor yang tertangkap basah adalah para aparat bagaimana kasusnya? Uda pada ga punya malu ya?" tulis Dinda Cendikia.
Sementara itu, Rira Murmaida mengingatkan bahwa Ravio merupakan korban. Ia kemudian meminta aparat menangkap pelaku sebenarnya.
"Ravio adalah korban. Tangkap pelaku peretasan WA-nya. Lindungi hak-hak sipilnya, jangan main culik orang yang kritis," tulis Rira Murmaida, sebagaimana dikutip Jpnn.com 23 april 2020.
Apapun alasan pembebasan itu yang jelas kasus ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi aparat kepolisian yaitu mengusut peretasan akun wathsap milik Ravio untuk bisa mengetahui siapa sebenarnya pelakunya dan apa motivasinya.
Hal ini penting agar dibelakang hari tidak terjadi kesewenang wenangan dalam menangkap seseorang tanpa kejelasa alasannya. Bahkan menjadi sulit nantinya dibedakan antara dia sebagai korban atau pelaku penyebar keonaran.
Ancaman Terhadap Aktifis?
Meskipun akhirnya dilepas, tapi kasus Ravio hendaknya tidak menguap begitu saja. Kasus ini harus menjadi pembelajaran ke depannya agar tidak menjadi ajang untuk penegakan hukum yang berorientasi pada kekuasaan belaka.
Karena bagaimanapun menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negara sesuai amanat UUD 1945. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
Hal itu merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara guna membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial danmenjamin hak asasi manusia. Apalagi kalau opini dan aspirasi itu disampaikan berdasarkan data dan fakta.Ada indikasi selama periode pemerintahan saat ini tidak sedikit aktifis dan penyuara aspirasi yang ditangkap dan indikasi kriminalisasi.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) misalnya menilai rezim pemerintahan Jokowi periode pertama banyak mengkriminalisasi aktivis agraria. Menurut Sekjen KPA Dewi Kartika tindakan itu tak sesuai Nawacita.
“Yang dijalankan menteri-menteri Jokowi bukan yang dicita-citakan dalam Nawacita. Masih banyak petani, masyarakat adat yang ditangkap,” kata Sekjen KPA Dewi Kartika, Jumat (18/10/2019) sebagaimana dikutip law-justice.co.
“Selama pemerintahan Jokowi saja ada sekitar 800 lebih aktivis agraria, petani, masyarakat adat, nelayan, ditangkap karena mempertahankan kampung-kampung, desa, tanah-tanah garapannya,” lanjutnya.
Menurut KPA, ratusan masyarakat dan aktivis itu ditangkap karena terlibat konflik lahan dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur, konservasi, dan pariwisata. Sementara itu menurut catatan WALHI setidaknya 146 kasus kriminalisasi terjadi pada pejuang lingkungan hidup.
"Sepanjang lima tahun terakhir, di pulau Jawa meliputi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah terjadi 146 kasus kriminalisasi. Untuk Jawa Timur, dia menjadi lokasi yang kriminalisasinya tinggi dengan 103 kasus," ujarnya saat ditemui di kantor WALHI, Jakarta Selatan, Selasa (10/12) seperti dikutip gatra.com.
Apakah prosesi pemeriksaan / penahanan terhadap Ravio Patra itu menjadi bagian dari “program kriminilasasi” yang dijalankan oleh rejim ini?. Kita tentu tidak berhadap demikian karena kalau ini yang terjadi merupakan kemunduran demokrasi sekaligus akan menuju negara tiran yang mementingkan kekuasaan ketimbang perlindungan terhadap setiap warga negara yang menjadi tujuan utama berdirinya negara Indonesia.
Agar simpang siur ini tidak terjadi maka pengungkapan kasus Ravio Patra harus di ungkap dengan sejelas jelasnya secara jujur dan bertanggungjawab. Aparat adalah abdi masyarakat bukan abdi penguasa sehingga sudah saatnya untuk menegakkan hukum secara adil dan bagi semua warga bangsa.
Pengungkapan kasus Ravio bisa diawali dengan mengungkap siapa peretas akun wathsapnya. Jika ini bisa dilakukan secara fair, publik tentu akan paham duduk soalnya.
Dengan begitu akan menghilangkan kecurigaan publik yang cenderung memahami kasus ini sebagai bagian dari upaya untuk membungkam suara suara kritis yang muncul di tengah maraknya pandemi corona.
Sampai disini tantangan di tujukan kepada aparat keamanan tentunya : Apakah aparat terkait sanggup melakukanya? [ljc]