DEMOKRASI.CO.ID - Sejumlah warga asing di China mengaku mendapat perlakuan diskriminasi dan rasisme, setelah ditemukan banyak kasus virus corona di China berasal dari mereka yang datang dari luar negeri.
Sejak pandemi virus corona, warga berpenampilan Asia menghadapi serangan "xenophobia", atau rasa benci terhadap warga asing di berbagai negara, seperti di Australia.
Kini sebaliknya, justru warga asing di China yang mendapat perlakuan serupa.
Pekan lalu, sebuah komik yang beredar di platform media sosial yang populer di China, yakni Weibo, menggambarkan orang asing dibuang ke tempat sampah.
Postingan ini disertai judul, "Buku Petunjuk Bergambar tentang Menyortir Sampah Asing".
Orang asing berkulit gelap dan berambut pirang berada di dalam tempat sampah yang bertuliskan, "Saya diundang ke sini, dan sama sekali tidak bisa memenuhi permintaan sepele [mengikuti aturan karantina]."
Di sampingnya berdiri petugas kesehatan dengan pakaian pelindung diri, lengkap dengan alat penyemprot.
Orang asing ini menjadi target untuk "dibuang" juga karena tindakan tak bermoral lainnya, seperti mengunggah komentar anti-China, menipu perempuan China untuk layanan seks dan uang, serta menyerang petugas kesehatan setelah ia dinyatakan positif mengidap virus corona.
"Upaya pencegahan epidemi belum selesai. Saya harap tidak akan menyortir sampah asing lagi," demikian dikatakan petugas dalam komik itu.
"Jika kamu tidak mau pakai masker, pulang saja ke negara asalmu," katanya.
Gambaran dalam komik itu dialami oleh Paul Mozur, reporter New York Times di Shanghai.
Ia mengaku diteriaki sampah asing ketika makan di salah satu restoran.
"Kartun-kartun ini mengobarkan sentimen jahat terhadap orang asing yang sudah ada di masyarakat," katanya dalam postingan di Twitter.
Ini bukan pertama kalinya warga asing digambarkan sebagai ancaman terhadap keselamatan publik di China.
Pada tahun 2016, para pejabat di Beijing menjalankan kampanye yang memperingatkan warga China agar jangan berkencan dengan warga asing, karena mereka bisa jadi seorang mata-mata.
Pemerintah menutup perbatasan
Karena mengklaim sudah berhasil mengendalikan pandemi, Pemerintah China kini semakin menekankan ancaman penyebaran virus corona dari luar negeri.
Jumlah kasus baru tampaknya mulai stabil di China ketika di Amerika Serikat dan Eropa justru meningkat. Namun angka yang dirilis China telah dikritisi banyak pihak.
Sebagai contoh, laporan media Washington Post pekan lalu menyatakan jumlah korban di Wuhan saja bisa mencapai 42.000 orang, Angka ini 16 kali lipat dari jumlah yang diumumkan resmi.
Komisi Kesehatan Nasional China minggu ini melaporkan sudah tidak ada lagi kasus COVID-19 yang ditularkan di dalam negeri.
Sebaliknya, 32 kasus COVID-19 yang dilaporkan pada hari Senin, semuanya berasal dari luar negeri.
Untuk pertama kalinya sejak pandemi dimulai, tidak ada kasus kematian baru yang dilaporkan.
Ketika AS menutup perbatasannya untuk seluruh pendatang dari China pada Februari lalu, China melontarkan protes keras.
Sejak akhir bulan lalu, China justru menutup perbatasan mereka untuk semua warga negara asing bulan lalu.
Dalam sebuah pernyataan pada 26 Maret, Kementerian Luar Negeri China "melarang sementara semua warga negara asing yang memegang visa atau izin tinggal untuk masuk ke China".
Larangan ini dirasakan dampaknya oleh Kynan, seorang warga Australia di Shanghai.
"Jika saya pergi sekarang, saya akan dilarang pulang selamanya," katanya.
Menurut data, sekitar 90 persen dari kasus impor COVID-19 di China bersumber dari warga China sendiri yang baru pulang dari negara lain.
Para warga asing mengaku telah didatangi petugas ke tempat tinggal mereka untuk memastikan mereka mematuhi aturan karantina wajib di rumah.
Ketika toko-toko dan usaha dibuka kembali, para warga asing melaporkan adanya kesulitan untuk mendapat pelayanan.
Jim Boyce, seorang kritikus restoran di Beijing, melaporkan ada toko di dekat rumahnya yang memasang peringatan, "Kami tidak melayani warga asing".
RF Parsley, ekspatriat lain di Beijing, mengunggah video dirinya ditolak di salah satu tukang cukur.
Menurutnya, pekerja salon mengatakan mereka diperintahkan oleh pejabat setempat untuk tidak melayani "orang asing".
Warga negara Kanada, Kyle Hadfield yang telah tinggal di China selama 14 tahun mengakui adanya sikap permusuhan terhadap orang asing.
"Sikap permusuhan terhadap orang asing dan ekspatriat di China selama wabah virus corona mengalami peningkatan, terutama beberapa minggu terakhir," katanya kepada ABC.
Menurut pengakuannya, warga lokal kini akan menjauh darinya jika berpapasan di jalan atau keluar dari lift ketika dia masuk.
"Orang asing kini dianggap sebagai virus," ujar Hadfield.
"Ketika warga keturunan China di negara lain menunjukkan tanda "Saya bukan virus", saya pun ingin menunjukkan tanda yang sama di sini," katanya.
Hadfield yang beristri warga China dan memiliki seorang anak, mengaku sedih menghadapi xenophobia di negara yang sudah dianggapnya sebagai kampung halaman.
"Perlakuan khusus" memicu kemarahan
Pekan lalu, tiga warga asing dilaporkan melakuan tes COVID-19 di Kota Qingdao tanpa antri, sehingga memicu kemarahan warga setempat.
Media Harian Rakyat milik pemerintah mengutuk perilaku itu, dengan alasan warga asing tidak boleh mendapat "perlakuan khusus".
"China selalu mementingkan keselamatan dan kesehatan warga asing di negara ini, melindungi hak dan kepentingan mereka sesuai dengan aturan hukum," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Zhao Lijian ketika dimintai pendapatnya.
"China menentang segala bentuk diskriminasi dan sikap prasangka," tambahnya.
Tuduhan bahwa warga asing menolak untuk pakai masker merupakan faktor lain yang juga menjadi sumber kemarahan warga setempat.
Bulan lalu, seorang warga Australia dipecat dan diminta meninggalkan China setelah dia melanggar aturan lockdown dan keluar berolahraga.
Kasus ini memicu kemarahan netizen di China, terlihat dalam salat satu postingan di medsos Weibo, "Bangsa kami tidak akan menerima orang yang tidak menghormati hukum kami".
Suratkabar Global Times yang dikelola Pemerintah China, melaporkan pandemi COVID-19 telah mengarah pada diskriminasi terhadap ekspatriat.
Namun, warga Australia di Shanghai, Kynan, mengaku belum mengalami diskriminasi tersebut.
"Saya mengunjungi beberapa restoran dan bar, semuanya baik-baik saja, selain memeriksa suhu badan saya," katanya.
Meningkat secara global
Presiden AS Donald Trump dituduh telah memicu kebencian terhadap warga keturunan Asia di Amerika dan bersikeras menyebut COVID-19 sebagai "Virus Cina".
Sementara itu, media Pemerintah China dan kalangan pejabatnya melontarkan berbagai teori konspirasi, salah satunya virus corona berasal dari Amerika Serikat atau Italia, bukan dari China.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Australia mengatakan seperempat orang yang mengadukan perlakuan diskriminasi rasial dalam dua bulan terakhir, memiliki kaitan dengan COVID-19
Minggu ini ada video yang viral di medsos menunjukkan seorang pria Australia melecehkan orang lain di luar gedung konsulat China di Sydney.
"Memerangi epidemi juga butuh mengatasi sisi lain yang lebih gelap," kata Fernand de Varennes, Pelapor Khusus PBB.
"Sangat diperlukan adanya tindakan tegas dari negara dan kita semua dalam melindungi HAM warga yang paling rentan dan terpinggirkan, termasuk minoritas, masyarakat adat dan kaum migran," katanya.
"COVID-19 bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga bisa menjadi virus yang memperburuk xenofobia, kebencian dan pengucilan orang lain," tambahnya. [bbc]