DEMOKRASI.CO.ID - Organisasi think tank di Inggris dalam laporannya mengatakan China harus dituntut untuk membayar kompensasi sebesar £3,2 triliun atas pandemi global coronavirus disease-19 (COVID-19). Angka kompensasi jika dikurskan Rupiah saat ini mencapai Rp64.744.466.436.905.600.
Organisasi think tank konservatif Inggris, The Henry Jackson Society, dalam laporan berjudul "Coronavirus Compensation?" mengatakan besaran tuntutan kompensasi itu baru dari gabungan negara-negara Kelompok Tujuh (G-7) saja.
Kelompok itu menyalahkan Beijing atas pandemi COVID-19 yang telah menyebabkan puluhan ribu kematian dan menghancurkan ekonomi global. Fakta bahwa virus itu terdeteksi atau pertama kali muncul dan mewabah di Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019.
Penulis laporan Matius Henderson, Dr Alan Mendoza, Dr Andrew Foxall, James Rogers dan Sam Armstrong mengkritisi penanganan awal pemerintah China terhadap penyakit tersebut.
"China gagal untuk melaporkan informasi secara memadai kepada WHO tentang wabah itu," bunyi laporan mereka, seperti dikutip news.com.au, Senin (6/4/2020).
Tindakan itu, kata mereka, melanggar beberapa pasal atau artikel dari Peraturan Kesehatan Internasional, di mana China menjadi negara yang ikut menandatanganinya.
Organisasi itu mengklaim pelanggaran Beijing tersebut memungkinkan virus menyebar dengan cepat di luar Wuhan dan bahwa penelitiannya menemukan empat bidang utama yang menjadi perhatian.
Lebih lanjut, organisasi tersebut menuduh pemerintah China gagal mengungkapkan data yang akan menunjukkan bukti penularan dari manusia ke manusia untuk jangka waktu hingga tiga minggu dari menyadarinya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) salah memberikan informasi tentang tingkat infeksi dari 2 Januari 2020 hingga 11 Januari 2020.
Laporan organisasi tersebut mengklaim pihak berwenang China mengizinkan lima juta orang untuk meninggalkan Wuhan sebelum melakukan lockdown pada 23 Januari, dan gagal melarang "vektor yang dapat dihindari" dari infeksi virus yang berasal dari hewan yang mematikan.
Organisasi The Henry Jackson Society berpendapat kurangnya informasi dari China menunda respons terhadap virus, seperti travel screening. Argumen itu mengutip sebuah studi University of Southampton yang sebelumnya menemukan penyebaran COVID-19 akan berkurang sebesar 95 persen seandainya langkah-langkah karantina yang ketat diperkenalkan hanya tiga minggu sebelumnya.
Sebagai akibat dari dugaan pelanggaran tersebut, organisadi di Inggris itu mengatakan China dapat menghadapi potensi tuntutan kompensasi yang besar, termasuk £351 miliar dari Inggris dan £29,9 miliar dari Australia. Bahkan, pengacara internasional untuk publik kemungkinan akan memanfaatkan klausa yang relevan untuk menegakkan norma internasional dan memaksa China untuk membayar kompensasi.
“Partai Komunis China (CCP) tidak mendapat pelajaran dari kegagalannya dalam epidemi SARS tahun 2002-2003. Kesalahan berulang-ulang, kebohongan dan disinformasi mereka, sejak awal epidemi COVID-19, telah memiliki konsekuensi yang jauh lebih mematikan," kata Matthew Henderson, salah satu penulis laporan organisasi tersebut.
“Laporan ini tidak menyalahkan orang-orang China atas apa yang telah terjadi. Mereka adalah korban yang tidak bersalah, seperti kita semua. Ini adalah kesalahan CCP."
“Bagaimana ini akan diterjemahkan ke dalam praktik, waktu akan tahu. Dengan menghitung biaya kerusakan ekonomi dan merakit serangkaian proses hukum yang memungkinkan di mana aturan berdasarkan aturan dapat meminta bantuan, kami menawarkan perasaan bagaimana dunia yang bebas dapat mencari balasan atas kerugian yang mengerikan yang telah dilakukan CCP," paparnya.
Sementara itu, agen-agen intelijen Amerika Serikat telah mengajukan laporan rahasia ke Gedung Putih minggu lalu di mana mereka menyimpulkan kematian dan infeksi akibat wabah di China itu sengaja dilaporkan kurang dari yang sebenarnya.
Penghitungan yang dilaporkan secara resmi oleh Beijing adalah sekitar 82.000 kasus dan 3.300 kematian sejak wabah itu ditemukan pada bulan Desember 2019. Namun, laporan intelijen AS menyimpulkan bahwa jumlah kasus infeksi dan angka kematian itu adalah "kebohongan".
Penasihat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga mengklaim angka-angka China mungkin diragukan secara signifikan.
Pemerintah belum berkomentar atas laporan organisasi think tank Inggris tersebut. Namun, Beijing pada pekan lalu marah atas laporan intelijen Amerika yang menyimpulkan China berbohong soal jumlah kasus infeksi dan jumlah kematian akibat pandemi COVID-19 di negeri Tirai Bambu.[sn]