logo
×

Selasa, 07 April 2020

Memburu Penghina Presiden di Tengah Penanganan Wabah Corona, Korelasinya Apa?

Memburu Penghina Presiden di Tengah Penanganan Wabah Corona, Korelasinya Apa?

DEMOKRASI.CO.ID - Munculnya telegram dari petinggi Polri untuk menindak tegas Penghinaan Presiden dan penyebar hoaks menjadi pertanyaan publik. Politisi dari Gerindra, Fadli Zon bertanya bernada sindiran yang diungkapkan lewat media sosial.

"Apa hubungannya memerangi #Covid_19 dengan menerbitkan aturan penghinaan

@jokowi? " tulis Fadli Zon di twitter, Selasa (7/4/2020). Tidak ada keterangan lebih lanjut, tapi kalimat itu cukup menonjok dan menggugah orang untuk berkomentar.

Selain Fadli, kecaman juga datang dari  banyak pihak. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menegaskan, agar Polri, maupun pemerintah, merevisi atau bahkan menghapus aturan-aturan penanganan wabah Covid-19 yang mengancam hak dan kebebasan sipil.

Usman mengkritisi terutama terkait Surat Telegram Kapolri tentang pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi reserse kriminal (Reskrim) nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020. Beberapa isinya mengatur tentang pelaksanaan hukuman pidana terkait  tentang penyebaran informasi yang dianggap bohong di ruang siber, ataupun online. Bahkan, menebalkan tentang penanganan pidana penjara terkait penghinaan terhadap Presiden, dan pejabat pemerintahan selama penanganan wabah Korona.

Anggota Polri, berdasarkan telegram itu, harus berpedoman terhadap Pasal 14, dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan itu menyatakan, penjara satu sampai tiga tahun dalam penerapan Pasal 207 KUH Pidana yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan juga penguasa negara. Telegram itu meminta kepolisian mengacu pada pedoman Pasa 45 A  ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU 11 /2008 Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Serta Pasal 96 UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.

“Aturan (telegram) tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan Polri dan penegak hukum untuk bersikap represif terhadap masyarakat,” kata Usman dalam siaran pers , Senin (6/4).

Usman menegaskan, semestinya Polri menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Apalagi di tengah pandemi global yang mematikan sekarang ini. Alih-alih melindungi dan memberikan rasa aman, Usman melihat, telegram tersebut mengancam hak masyarakat dalam  menyatakan pendapat.

“Atas nama penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi melanggar kemerdekaan berpendapat. Amnesty mendesak pihak kepolisian dan yang berwenang menarik (membatalkan) telegram tersebut,” tegas Usman.

Ia menambahkan, selain mengancam kebebasan berpendapat, telegram yang terbit pada Sabtu (4/4) itu, pun tak konsisten dengan keputusan pemerintah.

“Pelaksaan telegram itu akan membuat banyak orang yang semula berniat memberikan pendapat, ataupun kritik, justru takut untuk bersuara karena diancam hukuman,” terang Usman.

Menurut dia, Polri, maupun pemerintah semestinya menjadikan respons warga sebagai kritik dan saran dalam penanganan wabah Korona. “Tanpa saran dan kritik, pemerintah tentunya akan semakin kesulitan untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam penanganan wabah,” kata Usman.

Amnesty menegaskan, Indonesia terikat dengan Pasal 19 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Internasional (ICC-PR). Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, pun telah menghapuskan delik penghinaan terhadap Presiden dan penguasa negara dalam Pasal 207 KUH Pidana karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Ketua YLBHI Asfinawati juga mengingatkan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

"Penghinaan presiden lagi, sudah dinyatakan tidak mengikat pasalnya oleh MK," ujar Asfinawati, Senin (6/4/2020).

Seniman  Sudjiwo Tedjo mengingatkan, jika salah sedikit saja aturan ini akan kontra produktif berupa cibiran, tidak di mulut atau media sosial, tetapi di hati. "Temen-teman hukum banyak yang mengingatkan, jangankan para pemimpin bawahan, bahkan pucuk pemimpin yaitu presiden saja sudah bukan lagi simbol negara. Penghinaan terhadap mereka baru menjadi kasus hukum bila ada aduan dari mereka, persis yang berlaku terhadap rakyat biasa," tulis Sudjiwo Tedjo yang dikenal sebagai Presiden Jancukers ini, Senin (6/4/2020) lewat twitter. [ts]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: