logo
×

Jumat, 24 April 2020

Masyarakat Bukan Mudik Atau Pulang Kampung, Tapi Sedang Mengungsi

Masyarakat Bukan Mudik Atau Pulang Kampung, Tapi Sedang Mengungsi

DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah telah melarang masyarakat di wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mudik ke kampung halamannya.

Larangan ini menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo membedakan antara mudik dan pulang kampung. Perbedaan itu, kata Jokowi dalam acara Mata Najwa, terletak waktu aktivitas dilakukan.

Presiden Jokowi menyebut bahwa masyarakat yang sudah pulang ke kampung halamannya saat ini atau jauh dari hari sebelum lebaran bukan disebut mudik, melainkan pulang kampung.

"Jokowi membuat perbedaan makna baru dari mudik dan pulang kampung. Jadi yang pulang kampung sekarang boleh berduyun-duyun menuju kampung tidak apa-apa menurut Jokowi. Jokowi lupa ada aturan larangan tersebut," ujar Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun menanggapi pernyataan Jokowi tiu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (24/4).

Namun demikian, Ubedilah melihat adanya kekeliruan pemaknaan dari Presiden Jokowi yang hanya melihat pergerakan warga Jabodetabek secara fisik dari kota ke kampung.

Padahal mereka bergerak ke kampung halaman untuk mengungsi. Ini mengingat mereka tidak lagi bisa bertahan hidup di Jabodetabek lantaran sudah tidak bisa lagi bekerja.

"Itu sesungguhnya memiliki makna mengungsi. Sebab di antara karakteristik pengungsi adalah tidak memiliki cukup keuangan dan makanan untuk bisa bertahan hidup," jelas Ubedilah.

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menggarisbawahi bahwa ciri warga pengungsian adalah tingkat ketergantungan yang tinggi pada yang lain. Hal ini tentu harus segera diantisipasi oleh pemerintah.

"Sementara pekerjaan di kampung tidak ada. Praktis mereka hanya akan bergantung pada bantuan. Kebergantungan tinggi pada bantuan adalah ciri warga pengungsi," kat Ubedilah.

Dengan demikian, fenomena masyarakat yang kembali ke kampung halaman, kata Ubedilah, sebagai fenomena pengungsian besar-besaran.

"Situasi ini juga terjadi dihampir seluruh dunia. Problemnya di Indonesia nampak lebih parah karena kemungkinan daya tahannya hanya maksimal dua atau tiga bulan saja," pungkasnya.(rmol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: