DEMOKRASI.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan surat utang dengan denominasi dolar saat pandemik Covid-19. Ada tiga jenis surat utang yang diterbitkan. Total nilai mencapai 4,3 miliar dolar AS atau setara Rp 68,6 triliiun dengan tenor terpanjang mencapai 50 tahun.
Ketua Majelis Jaring Aktivis Pro Demokrasi Iwan Sumule heran dengan langkah Sri Mulyani menerbitkan surat utang yang diklaim terbesar dalam sejarah RI tersebut. Sebab, tenor yang lama akan membuat generasi penerus bangsa ikut ketiban tanggungan.
“Gile! Ada yang tenornya sampai 50 tahun pula. Lama banget, anak cucu kita yang akan menanggung,” sindirnya kepada redaksi, Rabu (8/4).
Selain menjadi beban generasi penerus, Covid-19 ini juga seperti menjadi kesempatan untuk menutup laju ekonomi Indonesia yang sedang terseok. Terlebih lagi, Sri Mulyani sudah memprediksi bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga minus 0,4 persen di tahun ini.
“Seolah adanya Covid-19 jadi kesempatan untuk menutupi bobroknya pengelolahan uang negara. Iya gak sih?” tutupnya.
Bagi Sri Mulyani, penerbitan tenor 50 tahun merupakan sebuah keberhasilan. Sebab menunjukkan kepercayaan investor dari pengelolaan keuangan negara.
Adapun global bond berdenominasi dolar AS ini terbagi dalam tiga tenor. Pertama, Global Bond bertenor 10,5 tahun dengan total 1,65 miliar dolar AS, dan oversubscribed 2 kali atau 3,53 miliar dolar AS.
Jatuh tempo surat utang ini adalah 15 Oktober 2030, dan memiliki kupon 3,85 persen yang dibayarkan dua kali dalam setahun (semi annually).
Global Bond kedua bertenor 30,5 tahun dengan total 1,65 miliar dolar AS yang oversubscribed hingga 3,33 miliar dolar AS, dengan tempo pembayaran pada 15 Oktober 2050. Surat utang ini memiliki kupon 4,25 persen yang dibayarkan dua kali dalam setahun.
Terakhir, Global Bond bertenor 50 tahun bernilai penerbitan 1 miliar dolar AS dan oversubscribed 2,5 kali atau 2,59 miliar dolar AS.
Jatuh tempo surat utang 15 April 2070 dan kupon yang ditawarkan 4,45 persen yang dibayarkan dua kali dalam setahun.
Sebelumnya, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna menilai Pandemic Bon ini sebagai akal-akalan.
Sebab, pemerintah bisa mencari dana itu dengan menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 160 triliun, Dana Abadi Pemerintah, Badan Layanan Umum, dan anggaran refocussing berdasarkan Peraturan Presiden.
Pemerintah juga bisa mengambil tambahan anggaran sebesar Rp 89,472 triliun atau 19,2 persen dari anggaran proyek pembangunan ibukota baru di Kalimantan. Bahkan, bisa ditambah lagi dari alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN 2020 sebesar Rp 419,27 triliun.
“Penjumlahan anggaran domestik seperti itu, sudah cukup besar untuk antisipasi efek wabah Covid-19. Dan, saya agak yakin, dari sisi kesehatan APBN akan lebih aman dan defisit anggaran APBN 2020 tidak akan melebihi angka patokan 3 persen sesuai UU,” kata Mukhaer Pakkanna.
Dia menyayangkan pemerintah tidak ambil jalur ini dan memutuskan mengambil jalur lain dengan menambah utang luar negeri (ULN). Caranya menerbitkan Pandemic Bond yang akan disupport oleh lembaga-lembaga keuangan swasta multinasional, seperti Citigroup, Deutsche Bank, Golman Sach, HSBC, dan Standar Chartered.
Maka tidak heran penerbitan Pandemic Bond dalam dua hari ini telah memproleh dana sebesar 4,3 miliar dolar AS alias Rp 69 triliun dengan dalih pemerintah bahwa Pandemic Bond itu bertenor jangka panjang. Bahkan pemerintah berharap dengan surat utang itu negara akan memperoleh dana sebesar Rp 549 triliun.
Itu artinya, sambung Mukhaer, dalam penanggulangan wabah Covid-19 ini, pemerintah sejatinya ingin mengandalkan utang luar negeri.
Berarti pemerintah sesungguhnya ingin "cuci tangan" dengan mengalokasikan anggaran utang. Artinya, beban anggaran penanggulangan wabah Covid-19 ini akan dialihkan ke generasi mendatang. Pemerintah kurang mau tanggung jawab.
“Kedua, tentu akan membuat defisit APBN makin membengkak. Jadi saya kira langkah pemerintah ini membahayakan. Padahal potensi anggaran domestik masih cukup besar,” tutupnya. (*)