OLEH: HENDRA J. KEDE
SYAHRUDDIN El-Fikri menulis di salah satu media nasional pada Selasa (23/10/2012) dengan judul, "Mabrur Tanpa Berhaji".
Selesai melaksanakan ibadah Haji, Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan, bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke Bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.
“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.
Ketika terbangun Ibnu Mubarok memutuskan mencari dan mengunjungi Muwaffaq ke Damsyik.
Setelah bertemu, Ibnu Mubarok memberi salam dan menyampaikan mimpi yang didapatnya.
Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.
Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 (empat puluh) tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 (tiga ratus lima puluh) dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.
Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.
Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya.
“Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.
Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 (tiga ratus lima puluh) dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.
Karena, beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar.
***
Calon Jamaah Haji Indonesia (CJHI) yang sudah masuk daftar tunggu sekitar 4.300.000 (empat juta tiga ratus ribu) jamaah. Status daftar tunggu itu artinya sudah menyetor uang sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta) rupiah per jamaah.
Sehingga uang CJHI yang tersimpan pada bank-bank dalam rekening negara sangat besar sekali jumlahnya dan oleh karenanya setatus prosen dalam kewenangan negara, bahkan CJHI sendiri tidak punya keleluasaan untuk menarik dan atau membatalkan kecuali ada alasan yang sangat jelas, seperti CJHI bersangkutan meninggal dunia.
Jumlah keseluruhannya sekitar Rp. 107.500.000.000.000,- (seratus tujuh triliun lima ratus milyar rupiah).
Bandingkan dengan jumlah yang dialokasikan negara untuk memanggulangi Virus Corona bidang kesehatan : Rp. 75.000.000.000.000,- (tujuh puluh lima triliun rupiah). Lebih rendah dibanding tabungan CJHI yaitu sekitar 69,77 persen dibandingkan dengan tabungan CJHI.
Bandingkan dengan jumlah uang yang dialokasikan negara untuk penanggulangan Virus Corona dan segala dampaknya sekitar Rp. 405.000.000.000.000,- (empat ratus lima triliun rupiah). Didistribusikan untuk bidang kesehatan (RP 75 triliun), jaringan pengaman sosial (Rp 110 triliun), stimulus kredit usaha rakyat (Rp 70,1 triliun), dan pembiayaan program pemulihan ekonomi (Rp 150 triliun). Jumlah tabungan CJHI sekitar seperempatnya atau sekitar 26,54 persen.
**
Presiden dan jajaran pemerintah, penulis lihat sebisanya sudah menyampaikan kondisi keuangan negara dan bagaimana dampak Pandemik Corona terhadap perekonomian negara dan sektor lainnya.
Pertumbuhan ekonomi bisa saja pada posisi minus. Pengangguran berpotensi bertambah. Investasi dipresidiksi merosot. Pemasukan negara berkurang.
Menurut hemat penulis, ini bukan saja masalah pemerintah lagi. Pandemik ini melanda seluruh dunia. Amerika, Eropa, China, negara-negara arab, negara kaya, negara miskin, negara setengah kaya, negara setengah miskin, semuanya sedang kalang kabut menghadapi Pandemik Corona ini.
Ini sudah menjadi masalah kita bersama sebagai sebuah bangsa dan negara. Eksistensi negara bangsa kita sedang dipersimpangan jalan. Dampak dari situasi ini akan menimpa kita semua seluruh lapisan masyarakat, akan menimpa seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Ini sudah menjadi masalah negara bangsa kita, negara bangsa yang dibangun dengan lautan keringat, lautan air mata, lautan darah, harta benda dan bahkan nyawa dari generasi ke generasi terdahulum agar kita dapat hidup sebagai sebuah negara bangsa yang merdeka.
Saat ini yang diperlukan adalah bahu membahu sesama anak bangsa. Bahu membahu untuk menyelamatkan negara bangsa kita dari segala efek negatif Pandemik Corona agar negara bangsa kita Indonesia tetap dapat menjadi negara bangsa tempat berlindung bagi anak cucu kita kelak dengan damai dan tentram.
Tanpa generasi kita bahu membahu menghadapi serangan Virus Corona yang sudah pada level pandemi ini, takutnya kita sedang mempertaruhakan kehidupan layak generasi anak cucu kita kelak.
Bahu membahu itu artinya manunggaling kawulo gusti. Bersatunya hati, pikiran, dan jiwa seluruh elemen bangsa termasuk dan tidak terbatas bersatunya hati, pikiran, dan jiwa pemerintah dan rakyat sebagai sesama anak bangsa.
Semua bersatu berjibaku sesuai dengan yang bisa dilakukan dan disumbangkan untuk membantu meringankan beban negara dan bangsa.
Sumbangan pemikiran, sumbangan tenaga, sumbangan uang, sumbangan sembako kepada sesama, sumbangan kedisiplinan menjalankan arahan pemerintah, sumbangan dan kontribusi apapun akan sangat berharga memiliki dampak positif besar dalam situasi sudah bersatunya hati, pikiran, dan jiwa seluruh anak bangsa.
**
Sebagai salah satu satu contoh saja, inspirasi dari cerita yang dituliskan oleh Syahruddin El-Fikri di salah satu media nasional pada Selasa (23/10/2012) diatas yang diberi judul "Mabrur Tanpa Berhaji".
Mari kita sama-sama merenungkan dan bertanya dalam hati saat bermunajat pada Allah setelah sholat tahajud di sepertiga terakhir malam, disaat yang ada hanya kesunyian, di saat yang ada hanya kita dan Allah SWT.
Mana yang lebih besar pahalanya, mana yang akan lebih menggetarkan Arasy Allah SWT. Mana yang akan lebih membuat Malaikat bermunajat kepada Allah SWT untuk kebaikan dunia akhirat seorang hamba. Mana yang akan lebih mendekatkan kita pada kasih sayang Allah SWT. Mana yang akan lebih membawa kita ke surga.
Antara menyumbangkan uang tabungan yang seharusnya untuk menunaikan ibadah haji (yang sudah dikumpulkan sekian tahun) kepada negara agar negara dapat terselamatkan dari segala efek negatif Pandemik Corona dibandingkan dengan menggunakan uang tersebut untuk melaksanakan ibadah haji yang entah kapan bisa dilaksanakan?
Jawabannya tentu bisa kita tanyakan juga kepada Kyai, Sych, Buya, Tuan Guru, Habib, Ustadz, Ustazah di samping kita tanyakan kepada hati nurani kita. Atau kalau ragu-ragu masih ada jalan salat istikoroh, memohon tuntunan dari Allah SWT untuk memudahkan kita mengambil keputusan.
Seorang ahli agama pernah penulis baca tulisannya yang menyatakan bukan karena ibadahnya kita surga itu mendekat namun semata-mata karena kehendak, karunia, dan kasih sayang Allah SWT.
Siapa tahu Allah SWT yang Maha Kaya dan Maha Kuasa memperlancar jalan hidup kita setelah itu dan menyegerakan keberangkatan kita untuk berhaji ke Baitullah. Allahumma amiin.
***
Pemerintah memiliki data lengkap CJHI Indonesia. Nama, alamat, tanggal lahir, nama orang tua, fotokopi KK dan KTP, dan data lainnya, termasuk nomer handphone CJHI.
Jika pemerintah bersama alim ulama dapat secara bersama-sama menghimbau masyarakat untuk menggganti salat Jumat dengan salat Zuhur. Jika pemerintah dan alim ulama dapat memberikan hujjah salat tanpa wudhu bagi petugas kesehatan yang sedang memakai Alat Pelindung Diri (APD).
Maka sudah saatnya juga, menurut hemat penulis, pemerintah dan alim ulama secara bersama-sama menyerukan umat untuk bersama-sama menanggung beban negara.
Sudah saatnya pemerintah dan alim ulama secara bersama-sama menyerukan agar CJHI menyumbangkan keberkahan tabungannya sebagai CJHI untuk meringankan beban negara.
Ini bukan hutang negara kepada CJHI yang harus dibayar negara kelak seperti kalau negara berhutang ke luar negeri dengan bunga yang melilit leher negara kita. Bukan. Ini sumbangan CJHI kepada negara sebagai bagian dari ibadahnya kepada Allah SWT.
Pemerintah dapat menjamin bahwa CJHI yang menyumbangkan tabunga hajinya tersebut tetap berada dalam daftar sebagai CJHI. Tidak perlu menunggu terkumpulnya kembali tabungan sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk tercatat dalam daftar CHJI.
CJHI yang menyumbangkan tabungannya untuk membantu negara mengendalikan Virus Corona tinggal mencicil kembali saja sampai terkumpul kembali sejumlah tabungannya sebagai CJHI tanpa khawatir kehilangan nomer antrian sebagai CJHI.
Tidak harus seluruh tabungan disumbangkan, sesuai dengan keikhlasan CJHI saja. Bisa seluruhnya, bisa tiga perempat, bisa separuh, bisa seprempat, bisa sepersepuluh, berapa saja, tanpa ada paksaan. Dan bagi yang tidak bersedia tidak boleh sama sekali diberikan stigma negatif sama sekali.
Jika usaha ini dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh dengan seruan dan pendekatan yang meyakinkan oleh pemerintah dan alim ulama, penulis meyakini akan banyak CJHI yang tergerak hatinya.
Tinggal diatur bagaimana Keterbukaan Infornasi Publik atas pengelolaan uang tersebut. Satu rupiah pun harus jelas dan terbuka kepada CHJI bagaimana penggunaannya uang tersebut. Kapan perlu dibentuk tim khusus untuk itu yang melibatkan elemen-elemen yang terkait.
Jangan lupa, uang CJHI itu hampir bisa dipastikan uang yang halalan toyyiban, jangankan uang haram, subhat pun tidak. Uang itu walaupun jumlah nominalnya terlihat tidak seberapa, tapi nilai kebarokahannya amat sangat luar biasa besar.
Kebarokahnnya jika dipakai untuk riset obat anti serum Virus Corona akan memudahkan datangnya ilham ke qolbu peneliti. Bukankah ilmu itu nurullah sehingga akan mudah masuk kepada sesuatu yang penuh keberkahan?
Kebarokahan itu akan meningkatkan daya imun dan daya tahan tubuh para dokter dan tenaga medis kesehatan.
Kebarokahan itu akan memudahkan para pemimpin menangkap ilham dari Allah SWT sebagai penuntun dalam membuat keputusan dan pemimpin negeri.
Kebarokahan inilah yang kita harapkan dapat menundukan keganasan makhluk Allah SWT yang bernama Virus Corona dari bumi Indonesia ini. Allahumma amiin.
Selesai.
Ketua Bidang Hukum dan Legislasi Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KBPII) dan Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI