DEMOKRASI.CO.ID - Kondisi ekonomi akan menjadi semakin berat jika wabah Corona tidak segera berakhir. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia memburuk hingga minus 0,2 persen, diikuti dengan penarikan uang sekitar 0,2 persen dari dana pihak ketiga (DPK) per hari, maka setidaknya 8 bank berpotensi gagal. Hal ini disampaikan oleh Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lana Soelistianingsih dalam rapat kerja virtual antara LPS dan Komisi XI DPR, Kamis (9/4/2020).
Bank gagal (bank failure) adalah suatu keadaan di mana bank tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau atau tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Untuk saat ini, lanjut Lana, LPS memiliki aset senilai Rp 120 triliun, di mana 50% atau sekitar Rp 60 triliun akan direpokan kepada Bank Indonesia (BI) untuk memproses bank gagal, sedangkan sisanya Rp 60 triliun untuk membayar repo ke BI dalam 3 bulan.
Di sisi lain, dalam Perppu 1/2020 diberikan kewenangan untuk melakukan keterlibatan di awal untuk mengetahui bank yang dalam pengawasan intensif OJK. Dengan demikian, dapat membantu kondisi keuangan LPS sebelum melakukan resolusi bank karena akan lebih dahulu mengetahui berapa jumlah bank yang akan diresolusi LPS. "Ini sangat membantu keuangan LPS, termasuk kita bisa pilih resolusi paling murah. Ketika jadi bank gagal kita pilih yang paling tepat, bahkan " ucap Lana.
Lana berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengupayakan konsolidasi dini akan sangat membantu mengantisipasi memburuknya industri jasa keuangan.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menambahkan koordinasi antara LPS dan otoritas pengawas saat ini semakin erat. LPS tidak lagi menunggu hasil pengawas dari OJK, tetapi juga ikut aktif dalam melakukan audit dengan OJK sehingga bank yang bermasalah dapat dideteksi dan ditangani lebih dini. Pasalnya, jika bank bermasalah tersebut terlambat diserahkan oleh OJK ke LPS, imbasnya akan membuat biaya penanganan menjadi lebih besar.
Sesuai UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, LPS saat ini memiliki tiga metode penyelamatan bank, yakni penyertaan modal sementara, purchase and assumption, dan bridge bank. Purchase and assumption merupakan metode resolusi penanganan bank gagal dimana pembeli (assuming bank) membeli sebagian atau seluruh aset bank gagal, serta mengambil alih sebagian atau seluruh kewajiban bank.
Adapun pada metode bridge bank, LPS mendirikan bank baru guna menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani untuk selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Jika merujuk skenario pemerintah, skenario terburuk ekonomi adalah rupiah di level Rp 20.000 per dollar AS, ekonomi minus 0,4%, inflasi tembus 5,1% dan skenario sangat berat ICP atau harga patokan minyak berada di level US$ 31 per dollar AS. Dihadapkan dengan kerjasama berbagai pihak, ekonomi Indonesia bisa terhindar dari krisis yang memburuk.
Meski begitu, LPS belum melihat adanya tanda-tanda kondisi perbankan memburuk. LPS juga belum melihat ada tanda-tanda penarikan dana dari deposan. Alhasil, belum nampak ada tanda-tanda akan mengalami gagal bayar dalam waktu dekat.
Menurut Halim, kondisi saat ini tergantung dari likuiditas perbankan. Bank wajib menjaganya. Salah satunya dengan menjaga kepercayaan masyarakat agar tidak menarik dana secara besar-besaran.
Menurut Halim, pelonggaran likuiditas dari Bank Indonesia (BI) akan membantu perbankan dalam menjaga likuiditas dan bisa memberikan kepercayaan pada publik.
Salah satunya dengan membuka kesempatan (windows) lelang setiap hari, baik melalui instrumen term repo maupun forex swap.
Melalui kedua instrumen moneter tersebut, bank bisa mendapatkan likuiditas dengan menjaminkan Surat Utang Negara (SUN) yang dimiliki dalam lelang term repo dan valuta asing dalam lelang forex swap.[tsc]