DEMOKRASI.CO.ID - Curva sebaran virus corona baru atau Covid-19 di Indonesia terus menanjak dengan angka kematian yang lebih besar ketimbang mereka yang sembuh. Namun demikian, langkah-langkah antisipasi sebaran Covid-19 dari pemerintah masih tampak belum serius.
Sebaliknya, pemerintah malah sibuk dengan urusan lain. Seperti Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan pemerintah tengah bersiap menyambut wisatawan asing dari China, Jepang, dan Korea Selatan.
Sejurus dengan itu, Presiden Joko Widodo seolah mengamin. Dalam rapat terbatas pagi ini, Kamis (16/4), Jokowi mengaku yakin sebaran virus akan selesai pada akhir tahun. Dia pun kini meminta agar stimulus pariwisata disiapkan demi menyambut booming wisatawan di awal tahun 2021 mendatang.
“Covid-19 yang sedang menular, bukannya cepat antisipasi dan cegah. Ini malah yang duluan dicegah krisis ekonomi dan sibuk menularkan optimisme tanpa solusi,” terang Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule kepada redaksi sesaat lalu.
Menurutnya, pemerintah semakin tanpa arah yang jelas dalam menangani Covid-19 dengan memaksakan program Kartu Pra Kerja, yang anggarannya mencapai Rp 20 triliun untuk 5,6 juta orang.
Iwan Sumule menekankan bahwa Kartu Pra Kerja merupakan program yang tidak perlu diambil di saat nyawa rakyat sedang terancam corona dan kelaparan. Program cocok dijalankan saat kondisi sedang normal tanpa wabah.
Parahnya, program ini seolah disebut sebagai solusi menghadapi Covid-19. Padahal yang terjadi justru pemborosan untuk pelatihan. Lebih efektif jika dana itu dibagikan secara langsung ke rakyat.
“Ingat Kartu Pra Kerja itu bukan bantuan terkait Covid-19, tapi seolah menjadi bagian bantuan penanganan Covid-19,” terangnya.
Dia juga menyinggung adanya potensi dugaan praktik korupsi dalam penunjukkan Ruang Guru, perusahaan milik Stafsus Presiden, Belva Devara, sebagai salah satu aplikator untuk Kartu Pra Kerja. Di mana proyek untuk aplikator ini dianggarkan mencapai Rp 5,6 triliun.
“Padahal pemerintah punya Balai Latihan Kerja (BLK) di setiap daerah, tapi tidak difungsikan,” tanyanya.
Kembali ke kritik kepemimpinan Jokowi dalam menangani Covid-19. Curhatan Jokowi bahwa masih ada ratusan daerah belum merealikasikan anggaran untuk bantuan kesehatan, dampak ekonomi, dan jaring pengaman sosial, bagi Iwan Sumule merupakan tanda bahwa daerah memang sedang tidak punya uang.
Untuk itu, sambungnya, curhatan Jokowi itu harus dipecahkan dengan cara mengambil alih tanggung jawab daerah. Apalagi, bantuan sosial atau pemenuhan kebutuhan pokok warga memang semestinya jadi tanggungan pusat.
“Lain lagi kalau itu disebut pembangkangan daerah. Berarti jadi bukti kalau pemerintah pusat telah kehilangan wibawa dan negara seolah tanpa kepemimpin nasional,” tekannya.
“Jadi negara ini seperti tanpa kepemimpinan. Pemimpin tampak sebagai dealer bukan leader. Tak kredibel lagi dipertahankan. Iya nggak sih?” demikian ketua DPP Partai Gerindra itu. [rm]