DEMOKRASI.CO.ID - Dua Staf Khusus Presiden Joko Widodo telah menyatakan mundur dari jabatannya. Pertama, Adamas Belva Syah Devara yang mundur setelah keikutsertaan perusahaannya, Ruangguru dalam Program Kartu Prakerja disorot.
Belva Devara dianggap melanggar etika conflict of interest dan melakukan abuse of power.
Pada hari ini, Jumat (24/4), giliran Andi Taufan Garuda Putra yang mengundurkan diri. Pengunduran diri itu juga tidak lepas dari sorotan publik atas ulah Andi Taufan membuat surat berkop Sekretariat Kabinet ke camat se-Indonesia.
Surat itu bertujuan untuk menitipkan perusahaannya, PT Amartha Mikro Fintech dalam giat relawan desa atasi Covid-19. Selain diduga menyalahgunakan wewenang, Andi Taufan juga diduga melakukan maladministrasi karena menerbitkan surat dengan menggunakan kop Setkab.
Pengunduran diri Andi Taufan ini pun mendapat apresiasi tinggi dari Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM).
“ProDEM pun apresiasi mundurnya stafsus Andi Taufan,” ujar Ketua ProDEM Iwan Sumule kepada redaksi, sesaat lalu.
Terlepas dari apresiasi itu, Iwan Sumule menilai bahwa Presiden Joko Widodo seharusnya bisa memetik pelajaran dari mundurnya dua stafsus tersebut. Pelajaran yang dimaksud adalah mengenai siapa yang menjadi pangkal masalah harus mundur.
“Belva dan Taufan sudah mundur, presiden masih ora mudeng pangkalnya di mana? Pangkal masalah ada pada presiden yang angkat stafsus dan beri kekuasaan,” tekannya.
Dia lantas mengurai proyek aplikator Kartu Prakerja yang dianggarkan mencapai Rp 5,6 triliun akan menjadi pangkal masalah. Ini lantaran mitra dipilih bukan melalui tender, melainkan sebatas proses verifikasi yang diduga kental dengan motif penunjukan langsung pada Maret lalu.
Setidaknya ada 8 platform digital yang sudah dipilih, termasuk Ruangguru. Berdasarkan itungan dari peneliti Indef Nailul Huda, penyedia pelatihan itu bisa meraup untung hingga Rp 475 miliar per platform.
Iwan Sumule meyakini penunjukan langsung itu bermasalah dan akan menjadi sumber masalah di kemudian hari.
“Tunjuk langsung proyek Rp 5,6 triliun itu sumber masalah. Iya nggak sih?” tutur ketua DPP Partai Gerindra itu mengakhiri. (Rmol)