DEMOKRASI.CO.ID - Sudah lebih dari sebulan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak turun-turun. Bila Anda mengecek tagihan di ATM, kantor pos, ritel, maupun dompet digital, nilai yang terpampang tetap sama: Rp160 ribu untuk kelas I, Rp110 ribu untuk kelas II, dan Rp42ribu untuk kelas III. Angka-angka iuran ini sesuai dengan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019, yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 27 Februari 2020.
Hingga saat ini belum ada kepastian kapan iuran bisa kembali menjadi Rp80 ribu untuk kelas I, Rp55 ribu untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III.
BPJS Kesehatan juga tak menampik fakta tarif iuran tak kunjung turun. Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan mereka belum menyesuaikan tarif karena belum terbitnya perpres baru untuk menggantikan Perpres 75/2019.
Iqbal menyatakan sebenarnya BPJS Kesehatan siap menjalankan putusan MA. Namun, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 mengisyaratkan perlu aturan baru dalam kurun waktu 90 hari. Kurun waktu itu terhitung usai salinan keputusan diumumkan resmi. BPJS Kesehatan, katanya, juga telah bersurat kepada pemerintah khususnya sekretaris negara terkait hal ini.
“BPJS Kesehatan menunggu terbitnya perpres pengganti. Saat ini sedang berproses,” ucap Iqbal kepada reporter Tirto, Jumat (3/4/2020) lalu.
Iqbal lantas mengatakan masyarakat yang telah membayar iuran--yang jatuh temponya tiap tanggal 10-- tak perlu khawatir. Ia mengatakan BPJS Kesehatan telah menghitung selisih kelebihan pembayaran iuran dan “akan dikembalikan segera setelah ada aturan baru atau disesuaikan dengan arahan dari pemerintah.”
Mempertanyakan Niat Pemerintah
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan tekanan bagi BPJS dan pemerintah untuk segera merampungkan sebetulnya terus bertambah. Pasalnya, salinan putusan sudah diumumkan pada situs resmi MA per 31 Maret 2020. Dalih pemerintah belum menerima putusan sudah tak dapat dipakai lagi.
Di samping itu, putusan MA sudah berlaku secara yuridis sejak tanggal penetapan, meski praktiknya tarif yang dibayarkan tetap versi naik 100 persen.
Pada akhirnya, ia menilai penurunan iuran BPJS Kesehatan tergantung niat baik pemerintah, sebab toh tak ada konsekuensi apa pun bila perpres baru terbit lambat.
“Ini harus didorong karena kewajiban Presiden, apa pun keadaannya. Atau sama saja (Presiden) tidak peduli hukum dan masyarakat,” kata Ficar kepada reporter Tirto, Sabtu (4/4/2020).
Perpres baru, kata Fickar, harus menyatakan keberlakuannya sejak tanggal MA membatalkan Perpres 75/2019. Di dalamnya juga harus mengatur dasar BPJS mengembalikan kelebihan bayar selama masa tunggu perpres baru terbit.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai situasi ini memperburuk kondisi masyarakat saat tengah bergulat dengan pandemi COVID-19. Saat ini banyak orang kehilangan pendapatan karena di-PHK atau tidak mendapat uang karena berstatus buruh harian--misalnya ojek online. Sementara ketika mereka tidak bisa bayar, maka status keanggotaannya otomatis dinon-aktifkan. Bila terpaksa menggunakan layanan, mereka juga masih diganjar denda telat bayar.
“Harusnya pemerintah punya empati lebih dalam. Kalau orang, terutama pekerja informal, enggak bisa bayar gimana?” ucap Timboel kepada reporter Tirto, Jumat (3/4/2020). “Kasihan pekerja informal di kelas mandiri,” tambahnya. Ia juga mengatakan meski BPJS Kesehatan menjanjikan bakal mengembalikan kelebihan bayar, kabar itu bak isapan jempol karena tak bisa jalan tanpa perpres baru.
Timboel mengingatkan semua ini sebenarnya juga berpotensi menambah beban pemerintah. Kehilangan jumlah peserta membuat keuangan BPJS semakin defisit.
Timboel bilang pemerintah seharusnya bisa lebih proaktif. Meski pengumuman putusan baru dilakukan Maret, pemerintah sudah bisa mulai merumuskan draf perpres baru sejak putusan ditetapkan dan berlaku yuridis, 27 Februari 2020.
Oleh karena itu, kata Timboel, “revisi ini harus cepat. Maret 2020 sudah berlalu. April 2020 ini kondisi ekonomi hancur lebur. Ini (penurunan iuran) belum jalan.”
Kata Pemerintah
Staf Khusus Presiden Dini Purwono belum menjawab pertanyaan reporter Tirto perihal molornya penurunan iuran maupun penerbitan perpres baru ini saat dihubungi pada Senin (6/4/2020). “Nanti saya lihat, ya,” ucap Dini.
Staf Khusus Presiden lainnya, Angkie Yudistia, juga tak kunjung menjawab panggilan maupun pertanyaan reporter Tirto. Pun dengan Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro.
Namun pada 24 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo mengaku perpres baru perpres masih dibahas dan belum rampung.
“Saya ingin menekankan beberapa hal, pertama penyelesaian dasar hukum baru yang dibutuhkan untuk mengatur pembiayaan sehingga ada kepastian pelayanan yang baik untuk pasien maupun rumah sakit,” ucap Jokowi, seperti dikutip dari Antara.[ti]