Oleh: Natalius Pigai
WHO dan FAO telah memperingatkan dunia bahwa pandemik Corona akan menyebabkan krisis pangan.
Soal pangan adalah sektor esensial. Sektor yang mengatur kebutuhan dasar, hidup matinya manusia.
Pada 2014 Jokowi berkomitmen untuk membuka lahan pertanian 1 juta hektar di luar Jawa. Namun hingga 2019 di masa kepemimpinan keduanya, pembukaan lahan 1 juta hektar hanya sebuah dongeng dan cita rasa utopia.
Akibatnya tingkat keberlanjutan pangan jauh lebih rendah dari Vietnam. Tingkat ketahanan pangan Indonesia juga berada di urutan ke-17 pada 2019.
Ancaman krisis pangan bukan hanya karena pandemik Corona, tetapi sebelum adanya ancaman virus ini kita telah mengabaikan ancaman krisis pangan.
Faktanya, lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha dari 15 juta ha, atau hampir separuh dari lahan panen padi nasional.
Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan panen padi pada 2017 meningkat 4,17 persen menjadi 15,79 juta hektar (ha). Jumlah tersebut terdiri dari lahan padi sawah seluas 14,63 juta ha dan padi ladang 1,16 juta ha.
Jawa Timur merupakan provinsi dengan luas lahan panen padi terbesar, yaitu 2,29 juta ha atau sekitar 15 persen dari total luas lahan. Menurut angka ramalan II, Jawa Timur dapat memproduksi hingga 13,13 juta ton.
Provinsi dengan luas lahan panen terbesar kedua adalah Jawa Barat yaitu seluas 2,12 juta ha (13,44 persen), diikuti Jawa Tengah dengan luas 2,01 juta ha (12,74 persen). Berdasarkan data tersebut, lahan panen padi Indonesia memang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dengan total luas mencapai 7 juta ha atau hampir separuh dari lahan panen padi Nasional.
Pada 3 Maret 2018, Menteri Agraria Sofyan Jalil pernah mengatakan keberadaan lahan sawah di Indonesia menyusut tajam. Sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu hektar lahan sawah berubah menjadi lahan nonsawah atau alih fungsi dari sawah kepentingan lain. Jadi kawasan industri, rumah, dan lain-lain. Seperti dikutip dari financedetik.
Menurut Soyan Jalil, penyusutan lahan meningkat tajam jika dibandingkan 6 tahun lalu. Sangat ironi, karena 6 tahun lalu laju konversi lahan sawah menjadi lahan nonsawah sekitar 100 ribu hektar per tahun. Artinya, lajunya meningkat hingga 100 persen.
Semalam di ruang perpustakaan di rumah, saya mencari buku-buku lama sewaktu kuliah di Jurusan Pemerintahan Desa di Yogyakarta.
Menarik karena kembali menghidupkan memori medio 90-an di tempat kuliah yang dijuluki "kampus desa" di mana bidang studi sosiatri pembangunan masyarakat desa menjadi andalannya.
Dalam berbagai hasil studi dan laporan statistik pangan menyatakan pulau Jawa adalah lumbung pangan nasional yang mensuplai 50 persen pangan nasional dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil beras tertinggi di Indonesia.
Pada 22 November 2016, saat baru saja mendarat di bandara untuk menangani kasus Freeport di Papua, aktivis agraria meminta saya mendatangi Kertajati di Majalengka dan Indramayu. Karena ada masyarakat yang dipukul, dianiaya, dan disiksa oleh aparat gabungan atas perintah pemerintah pusat demi perluasan landas pacu lapangan terbang yang memasuki wilayah hunian penduduk, harta warisan budaya, dan tempat-tempat keramat serta luas sawah ribuan hektar.
Saat itu juga saya mendatangi masyarakat di Kertajati, Majalengka. Keesokan harinya saya pimpin rapat di Gedung Sate, kantor Gubernur Jawa Barat dengan menghadirkan stakeholder.
Pemerintah pusat bersikeras, Gubernur Jawa Barat menolak. Tetapi karena proyek strategis nasional, maka pembangunan, penggusuran, dan penghancuran tempat hunian masyarakat Kertajati tetap dilanjutkan.
Di hadapan ribuan orang di Kertajati juga di kantor gubernur saya mewakili Komnas HAM menegaskan bahwa Kertajati tidak bisa dilanjutkan karena Majalengka dan Indramayu adalah Lumbung Beras yang memberi makan jutaan rakyat Indonesia.
Itulah sekelumit kisah perjuangan kami, karena sedari awal telah tertanam di memori bahwa Majalengka dan Indramayu pusat produksi beras sebanyak 1 juta ton dari 30 juta ton kebutuhan nasional.
Tidak dapat disangkal bahwa hari ini pemerintah berpolemik soal tata kelola pangan nasional khususnya beras. Rakyat dipertontonkan dengan sandiwara antaranggota kabinet tentang perlu tidaknya impor beras 1 juta ton, polemik tentang kepastian data/jumlah stock beras, BPS tidak mampu menghitung secara pasti angka postulat berdasarkan statistik meskipun menggunakan data berbasis geografis (geografical information system).
Sementara Bulog berkeras kepala tidak mau impor beras, Kementerian Pertanian tidak mampu mendorong produksi pangan dan mengendalikan petani gabah dan beras, demikian pula Kementerian Perdagangan masih mau memaksakan impor beras.
Itulah sandiwara yang dipertontonkan oleh pemerintah Jokowi-JK 2014-2019 karena ketidakmampuan menuntun tata kelola pangan nasional.
Persoalan pangan dan soal beras adalah soal mati hidupnya rakyat Indonesia namun pemerintah kewalahan. Bahkan berantam di antara mereka.
Bayangkan saja untuk menghidupi 263 juta penduduk Indonesia maka kita butuh 30 juta ton beras/tahun, dengan kebutuhan 114 kg/kapita/tahun. Berdasaran perhitungan akhir tahun 2017, suplai beras gabah petani diperkirakan 81 juta ton atau 46 juta ton beras.
Artinya kita masih memiliki surplus beras sebanyak 16 juta ton kalau itu sesuai target. Sedangkan kebutuhan beras nasional perbulan rata-rata 2,2 juta ton. Sementara cadangan beras pemerintah hanya 1,182 juta ton.
Persoalan beras tetap menjadi perhatian nasional dan akan terus menjadi polemik tahunan yang tidak akan bisa berhenti sepanjang hayat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh main-main. Tidak bekerja musiman, tetapi perlu proyeksi supply and demand dalam jangka waktu yang panjang.
Kecenderungan pemerintah saat ini justru soal pangan dan beras dianggap tidak menjadi penting. Pemerintah lebih mementingkan soal politik dan citra diri menghadapi tahun politik. Hasilnya kita menyaksikan sendiri indeks keberlanjutan pangan Indonesia nomor tiga terburuk di dunia. Memalukan!
Kembali ke Majalengka dan Indramayu, bahwa pembangunan bandar udara internasional Kertajati memang penting bagi mobilitas orang, barang dan jasa, khususnya bagi Masyarakat Jawa Barat. Tetapi justru secara langsung akan mempengaruhi sumber beras nasional.
Adanya pembangunan kawasan industri, pembangunan real estate, perkantoran, dan dinamika mobilitas orang, juga barang dan jasa, secara otomatis mengantarkan penduduk dari masyarakat agraris ke industri dan jasa. Demikian pula penyusutan lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan tidak mungkin lagi menyumbang beras 1 juta ton dari 30 juta kebutuhan beras nasional.
Tidak hanya Majalengka dan Indramayu, Karawang juga seluruh pulau Jawa terancam sebagai lumbung pangan. Karena data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44 persen berada di Pulau Jawa yang memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar dari total persawahan di Indonesia sebesar 7,74 hektar.
Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah menabrak aturan demi proyek ambisius pemerintah.
Belum lagi orientasi pembangunan industri masih berbasis di pulau Jawa, ditunjang oleh pembangunan kawasan hunian, pengembangan perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyertai tuntutan kebutuhan ekonomi akan meningkat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Maltus.
Faktor-faktor sebagaimana di atas bukan tidak mungkin telah memberi kontribusi dalam penyusutan lahan pertanian yang mana 51 persen sumber pangan nasional disuplai dari pulau Jawa, yang luas pulaunya hanya 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia.
Kabupaten Bojonegoro dan Sragen juga mulai terancam sebagai sumber beras nasional. Bojonegoro tiap tahun menyumbang 1 juta ton, sementara Sragen 600-800 ratus ribu ton. Pada saat ini Sragen dalam ancaman penyusutan lahan karena konsekuensi dari pembangunan jalan Tol Semarang-Boyolali-Surakarta.
Mobilitas barang, jasa, dan orang yang semula melalui pantai utara mulai cenderung beralih melalui lintas tengah Salatiga, Sragen, melalui akses jalan tol Madiun-Ngawi.
Kerusakan ekosistem karts sebagaimana terjadi di pegunungan Kendeng akibat pembangunan pabrik semen di Jepara di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo ikut memberi Konstribusi signifikan terhadap hambatan suplai air untuk kebutuhan ekonomi, khususnya petani padi di Bojonegoro meskipun berada di daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Itulah beberapa ancaman di mana Jawa tidak akan bisa diharapkan menjadi daerah suplai pangan nasional khususnya beras.
Salah satu dampak besar yang perlu diantisipasi adalah adanya ancaman urbanisasi akibat tingginya angkatan kerja, pengangguran, dan kemiskinan yang meningkat di pedesaan tentu menyebabkan orang desa yang agraris menjadi masyarakat urban.
Penduduk pedesaan yang memiliki lahan pertanian makin berkurang karena menua, akibatnya terjadi substitusi lahan dari pertanian ke jasa dan industri karena petani menjual areal pertanian mereka kepada konglomerasi-konglomerasi yang menguasai lahan di pedesaan.
Dampak besar ancaman penyempitan lahan pertanian juga terlihat dari pembangunan pembangkit tenaga listrik hampir di tiap wilayah di pulau Jawa. Kabupaten Cilacap saja telah memiliki kurang lebih tiga pusat pembangkit listrik swasta dan pemerintah.
Artinya kebutuhan energi makin hari kian meningkat, tuntutan kebutuhan energi di pulau Jawa bisa saja termasuk paling tinggi termasuk di dunia. Di satu sisi sangat membanggakan, namun juga membahayakan ekosistem dan sumber-sumber ekonomi berbasis pertanian perkebunan.
Inilah korban dari rancang bangun pemerintah yang tersandera doktrin keynesian yang menyatakan bahwa pasar dan pemerintah sebagai simbiosis mutualisma.
Pemerintah terlalu baik kepada pasar, tetapi pasar selalu egois mengejar keuntungan. Hingga menyebabkan pemerintah selalu kalah dan ketinggalan untuk berbuat baik bagi rakyat.
Konsep pembangunan kemitraan antara swasta dan pemerintah (publik private partnership/PPP) kurang lebih 10 tahun terakhir ternyata belum bisa memberi konstribusi signifikan.
Justru sebaliknya, pemerintah dijadikan sapi perah swasta melalui proyek infrastruktur dengan investasi besar. Termasuk pembangunan Bandar-bandar Udara di Indonesia. Padahal kalau kita melihat secara jeli ternyata pembangunan bandar udara baru selalu merusak ekologi dan sumber ekonomi, khususnya areal pertanian dan perkebunan.
Bandar Udara Internasional Kuala Namu di Sumatera Utara merusak areal perkebunan, sumber potensial bagi pendapatan Sumatera utara juga nasional. Begitu pula dengan Bandar Udara Sukarno Hatta, Bandar Udara Sultan Hasanudin, Hang Nadim, Palembang, termasuk juga Bandar Udara Internasional Kulon Progo Yogya, dan lain sebagainya.
Hampir semua pembangunan bandar udara selalu memakan korban. Jika tidak menggusur penduduk, maka areal produksi pertanian dan perkebunan dirusak.
Pulau Jawa yang memiliki 7 juta lahan pertanian, terus mengalami penyusutan sebanyak 200 ribu ha per tahun. Hanya butuh waktu 25 tahun lahan pertanian di Jawa akan hilang.
Bagaimanapun, pembangunan lapangan internasional, pembangunan insfrastruktur, pembangunan industri, real estate, dan lainnya khususnya di pulau Jawa telah menghancurkan sumber potensial penghasil pangan. Maka komitmen pemerintah untuk membuka areal pertanian 3 juta hektar sawah harus diwujudkan sebagai konsekuensi janji presiden Jokowi sebelum 2019.
Kalau tidak bisa diwujudkan maka pemerintah gagal memenuhi janji.
Membaca di situasi ini pemerintah tentu mempunyai Master Plan pembangunan nasional dalam berbagai sektor, termasuk sektor pertanian. Salah satu yang paling penting adalah perencanaan pembangunan dan pengembangan industri tentu memperhatikan ketersediaan lahan yang makin menyempit di pulau Jawa.