DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengaku setuju dengan sejumlah pihak yang melakukan judicial review atau uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perppu itu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.
"Maka saya termasuk yang bersetuju pada prakarsa sebagian kawan, ada Pak Ahmad Yani, Pak Syaiful, dan lain-lain yang mungkin ada di ruangan ini juga untuk melakukan judicial review dan saya ikut didalamnya," ujar Din dalam diskusi virtual yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Sabtu (11/4).
Dalam diskusi tersebut hadir beberapa tokoh akademik dari berbagai universitas dan pakar, diantarannya Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri dan anggota DPR 2009-2014 sekaligus advokat, Ahmad Yani.
Menurut Din, lahirnya Perppu tersebut di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil.
Ia mengatakan, substansi Perppu Nomor 1/2020 itu justru berbicaran tentang hal-hal yang tidak relevan. Sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara karena mengesampingkan konstruksi tata negara.
"Saya kira problematika konstitusional sekaligus ketatanegaraan kita apalagi ketika substansi Perppu itu sendiri tidak berhubungan langsung, malahan berbicara tentang hal-hal yang tidak relevan," kata Din.
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri menjadi Ketua Tim Hukum Judicial review Perppu 1/2020. Ia mengatakan, syarat kegentingan yang memaksa penerbitan Perppu tersebut tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu 1/2020.
Syaiful menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Sedangkan, dalam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa.
Menurut dia, Perppu itu menjadikan eksekutif dalam arti sempit tanpa kontrol atau melampaui kewenangan. Perppu 1/2020 memangkas tiga lembaga sekaligus. Ia memaparkan, Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting atau anggaran DPR.
Kemudian, Pasal 27 memangkas fungsi pengawasan teknik keuangan anggaran negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kekuasaan judicial. Serta Pasal 27 juga memangkas kewenangan judicial peradilan karena tidak bisa menjangkau segala penyalahgunaan keuangan yang dikeluarkan dalam rangka penanganan Covid-19.
"Perppu yang bertentangan dengan berbagai undang-undang, atau istilah lainnya disharmonisasi sesama undang-undang," kata Syaiful.
Ia merinci, undang-undang (UU) yang bertentangan dengan Perppu 1/2020 itu adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena terjadi perbedaan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara. Perbedaan ini terlihat dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara dan Pasal 27 Perppu 1/2020.
Kemudian, Perppu itu juga bertentangan dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU Nomro 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sebab, menurut Syaiful, terjadi perbedaan ruang lingkup kewenagan BPK dengan Perppu yang membuat laporan keuangan menjadi lunak.
Ia melanjutkan, Pasal 28 Perppu 1/2020 juga disharmoni dengan seluruh UU yang diatur di dalamnya. Antara lain, UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; UU Bank Indonesia; UU Perbendaharaan Negara; UU Lembaga Penjamin Simpanan; UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; UU Kesehatan; UU Desa; UU Pemerintahan Daerah; UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD; serta UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan.[]