DEMOKRASI.CO.ID - Rentetan serangan anti-Muslim dilaporkan terus terjadi di berbagai wilayah di India setelah umat Islam dituding sebagai penyebar virus corona di negara tersebut.
Kekerasan terhadap umat Muslim dilaporkan meningkat terutama setelah jajaran pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi berulang kali menyalahkan acara yang digagas markas Jamaah Tabligh dunia di Nizamuddin, New Delhi, sebagai sumber penyebaran corona di India.
Sekelompok pemuda Muslim yang tengah membagikan makanan terhadap orang yang kurang mampu dilaporkan diserang beberapa orang menggunakan tongkat kriket.
Sementara itu, beberapa umat Muslim di India dilaporkan telah dipukuli hingga hampir digantung karena dicap sebagai penyebar virus.
Sebagian dari insiden itu terjadi bahkan ketika para umat Muslim itu tengah berada di luar lingkungan mereka. Beberapa orang bahkan diserang ketika sedang berada di kompleks masjid.
Pengeras suara di sebuah kuil Sikh di negara bagian Punjab juga dikabarkan menyiarkan pesan yang mengajak orang-orang untuk tidak membeli susu dari peternak sapi perah Muslim karena telah terinfeksi virus corona.
Salah satu pemilik toko susu di Nizamuddin, Mohammed Haider, mengaku wabah corona memicu gelombang baru anti-Muslim di India.
"Ketakutan terus memelototi kami dari arah mana saja. Sekarang, dengan alasan kecil orang-orang bisa menyerang, memukul kami, atau untuk menghukum mati kami (umat Muslim)," kata Haider.
Pemerintah India telah memberlakukan penutupan perbatasan atau lockdown dan isolasi wilayah. Haider beruntung karena bisnisnya itu termasuk dalam jenis usaha yang masih diperbolehkan buka oleh pemerintah di tengah kebijakan lockdown.
Di media sosial, pesan-pesan berisikan ujaran kebencian terhadap umat Muslim di India juga terus menyebar dan bertambah banyak. Beberapa video hoaks bahkan tersebar.
Video-video itu berisikan perintah agar umat Muslim tidak memakai masker, tidak mempraktikan aturan menjaga jarak atau social distancing, dan tidak perlu khawatir tentang virus corona sama sekali. Video itu disebut sengaja dibuat oleh pelaku agar umat Muslim di India banyak yang terjangkit corona.
Berdasarkan data Worldometer, India tercatat memiliki 9.240 kasus virus corona dengan 331 kematian per Senin (13/4). Para pejabat India memperkirakan bahwa lebih dari sepertiga kasus Covid-19 terkait dengan acara Jamaah Tablig yang digelar pada Maret lalu.
Acara tersebut dihadiri 7.600 warga India dan sekitar 1.300 jemaah warga asing, termasuk warga Indonesia. Setidaknya 128 peserta Jamaah Tabligh dinyatakan positif corona kurang dari dua pekan acara itu berlangsung dan tujuh orang diantaranya meninggal dunia.
Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri India, Vikas Swarup, menuturkan acara Jamaah Tabligh itu "memiliki dampak signifikan terhadap penularan" corona di India.
"Pemerintah terpaksa membubarkan perkumpulan ini," kata Swarup seperti dilansir The New York Times.
Meski begitu, ia membantah bahwa pemerintah India berulangkali mengaitkan angka kasus corona "dengan komunitas tertentu".
Pemuka agama Muslim India menyayangkan sikap pemerintah India dalam menangani virus corona. Ketua Pusat Agama Islam di India, Khalid Rasheed, menganggap pemerintah seharusnya tidak menyalahkan suatu kelompok terkait penyebaran Covid-19.
"Jika Anda menyajikan kasus corona berdasarkan agama seseorang di depan media Anda, itu hanya memicu perpecahan yang lebih dalam lagi," ucap Rasheed.
"Virus corona mungkin saja mati suatu saat nanti, tetapi virus ketidakharmonisan di tengah masyarakat sulit untuk dihilangkan ketika wabah ini berakhir," paparnya menambahkan.
Ini bukan pertama kalinya umat Muslim di India menjadi target kekerasan masyarakat lokal yang mayoritas beragama Hindu. Umat Islam di India juga telah menjadi target diskriminasi hingga kekerasan oknum masyarakat lokal akibat sengketa wilayah di Kashmir antara Pakistan-India hingga perkara pengesahan undang-undang kewarganegaraan baru. []