logo
×

Jumat, 24 April 2020

Di Balik Tudingan Rizal Ramli Rasis Dan Kepanikan Rezim

Di Balik Tudingan Rizal Ramli Rasis Dan Kepanikan Rezim

Oleh:Smith Alhadar

SUDAH menjadi kebiasaan para buzzer di media sosial untuk membuat interpretasi  aneh atas ucapan intelektual dan tokoh oposisi yang dipersepsi dapat menggoyang rezim yang mereka puja. Interpretasi yang diniatkan untuk membunuh karakter tokoh itu.

Kali ini serangan ditujukan kepada intelektual yang ucapan dan tindakannya dijadikan rujukan barisan oposisi.

Ekonom senior Rizal Ramli dituding rasis ketika dalam acara ILC TVOne, 21 April, ia meminta rezim Jokowi berhenti menjadi antek China.

Apa yang salah dari pernyataan ini? Tentu saja tidak ada, karena Rizal Ramli merujuk ke negara China, bukan ras Tionghoa. Dan kenyataannya, Indonesia di bawah rezim ini yang dikomandai Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan patut diduga telah menjadi antek atau kaki tangan China.

Lihat, hampir semua kebijakan ekonomi dan politik rezim berorientasi pada persetujuan dan kepentingan Republik Rakyat China. Ini bertujuan menarik sebesar mungkin investasi China. Maka, kita menyaksikan perjanjian-perjanjian kerja sama ekonomi kedua negara lebih menguntungkan China.

LBP, representasi China di negeri ini, pontang-panting ke sana ke mari hanya untuk menyuarakan dan membela kepentingan China. Dalam konteks ini pula, kita terlambat lebih dari dua bulan dalam menangani Covid-19 asal China demi menjaga perasaan Beijing, selain ingin memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi domestik.

Rezim Jokowi takut Beijing marah karena sikap melawan Covid-19 dalam konteks yang merugikan China dapat berujung pada berhentinya aliran investasi China ke negeri ini.

Lalu, ketika dunia ramai-ramai menutup diri dari orang asing, terutama dari RRC, untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19, kita malah — atas rekomendasi Opung — membuka pintu lebar-lebar bagi kedatangan ribuan buruh kasar China. Ada analisis yang menyimpulkan bahwa mereka adalah tentara sekaligus agen mata-mata.

Di bidang politik, kita menyaksikan ketidakpedulian rezim Jokowi atas penindasan kejam Beijing terhadap kaum Muslim Uighur di Xinjiang, Cina. Penindasan terhadap jutaan orang itu begitu terang-terangan sehingga Komisi Tinggi HAM PBB dan puluhan negara Barat mengecam program cuci otak China yang melanggar kebebasan beragama itu.

Fakta-fakta keras itulah yang membuat Rizal Ramli menarik kesimpulan Indonesia telah menjadi budak China. Dan mendesak rezim Jokowi membalik haluan untuk tidak lagi berorientasi ke Beijing dan kembali ke jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam menjalankan politik luar negerinya, sebagaimana dirumuskan para founding fathers: politik bebas aktif.

Pandangan Rizal Ramli itu adalah pandangan kebangsaan.

Sama sekali jauh dari rasisme. Kenyataannya, istri RR adalah keturunan Tionghoa dan sangat banyak teman-temannya berasal dari etnis ini. Memang RR dikenal sebagai seorang pluralis yang dapat dilihat dari beragamnya orang di sekelilingnya. Anak-anak angkat pun berasal dari golongan Protestan dan Katolik. Tak salah kalau ia menuduh para buzzer itu norak.

Yang dia tuding itu bukan etnis Tionghoa tapi negara China yang dipimpin Presiden Xi Jinping. Lagi pula sebutan China bagi WNI keturunan di negeri ini telah dihapus secara resmi pada era SBY untuk digantikan dengan sebutan Tionghoa atas permintaan warga keturunan China di negeri ini. Thus, tiap kali orang Indonesia menyebut kata China, maka yang dimaksud adalah negara RRC.

Pernyataan RR itu harus diletakkan pada konteks acara itu. Sikap kebangsaannya  terlihat ketika ia membandingkan Indonesia dengan Vietnam, Meksiko, dan India. Ia mengutip analisis banyak pihak internasional bahwa ketiga negara itu akan menjadi super power dalam sepuluh tahun ke depan. Ketiga negara ini memang kental nasionalismenya, yang seluruh kebijakannya berorientasi ke dalam, yakni demi kepentingan negeri sendiri.

Menurut analisis tersebut yang sejalan dengan pandangan RR, bahwa Indonesia bisa menyodok ke urutan keempat kalau rezim Jae mengikuti langkah mereka. Yaitu, mereorientasi politik luar negeri yang tidak lagi pro-China dan melepaskan diri dari jerat ketergantungan pada negeri tirai bambu itu, serta pemimpin negara dikelilingi ekonom-ekonom hebat.

Kita tidak harus setuju dengan sikap dan pandangan RR. Yang kita tolak adalah tuduhan bahwa RR rasis. Tuduhan ini nampaknya disengaja — sebagaimana kebiasaan buzzer menjungkirbalikkan logika — untuk membunuh karakter orang-orang yang kritis terhadap rezim.

Bagaimanapun, tuduhan serampangan para buzzer ini tidak muncul dari ruang hampa. Malah menunjukkan sensitivitas buzzer terhadap situasi krisis saat ini. Situasi yang mengancam eksistensi rezim akibat porak-porandanya ekonomi negara dihantam covid-19. Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup rezm inilah yang membuat mereka menyerang secara membabi buta siapa pun yang mencolek rezim.

Dalam konteks krisis yang dihadapi rezim inilah juga yang mendorong Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membuat kesaksian ngawur tentang Jokowi. Bahwa Jokowi adalah sosok yang tulus, anti-korupsi, dan berkomitmen menyelamatkan rakat miskin dan lemah.

Kesaksian Prabowo bertolak belakang dengan kenyataan yang kita hadapai di era Jokowi. Korupsi semakin merajalela, demokrasi hancur, tingkat kebahagian rakyat anjlok, rakyat miskin makin miskin, jumlah rentan miskin meroket, pertumbuhan ekonomi loyo, penegakan hukum diskriminatif dan masih panjang daftar sengkarut bangsa ini. Sejak masuknya Prabowo menjadi anak buah Jokowi, semuanya makin hancur dan penanganan Covid 19 compang camping.

Karena pernyataan Prabowo itu bohong belaka, maka kita bisa menyimpulkan ini adalah usaha Prabowo menahan anjloknya legitimasi rezim Jae belakangan ini akibat ketidakmampuannya mengatasi krisis negara yang terjadi sejak beberapa tahun belakangan dan makin mengganas akibat Covid-19.

Dengan kesaksian itu, Prabowo mengirim pesan ke publik bahwa Gerindra akan tetap bersama rezim Jokowi, bahwa rezim tetap solid, dan mewanti-wanti kaum oposisi untuk tidak coba-coba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka bukan hanya akan berhadapan dengan rezim, tapi juga dengan Partai Gerindra.

Nampaknya target buzzer dan Prabowo tidak akan berhasil. Masalahnya, krisis yang sedang berlangsung harus dihadapi secara rasional dan jujur. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan rezim harus realistis, masuk akal, dan prorakyat. Bukan dengan propaganda-propaganda norak yang membuat situasi nasional semakin gaduh.

Sebaiknya para buzzer menyerang pandangan dangkal Jokowi tentang perbedaan mudik dan pulang kampung. Perbedaan yang sengaja dibuat membingungkan agar mudik, yang dinyatakan terlarang oleh rezim, dapat berlangsung. Bila rakyat yang ingin mudik dapat beralasan bahwa mereka tidak mudik tapi pulang kampung. Toh, yang dilarang kan mudik, bukan pulang kampung.

Ini dapat membuat ancaman protes massal dari rakyat di Jabodetabek yang paling terpukul oleh dampak Covid-19 dapat digembosi. Buzzer harus bisa menyerang gimik Jae itu karena hal itu bertentangan dengan PSBB yang dibuat rezim Jokowi sendiri. Orang-orang yang pulang kampung, bukan mudik, akan menyebarkan virus corona hingga ke desa-desa terpencil. Akibatnya, penanganan Covid-19 akan semakin lama dengan korban yang semakin besar.

Akibat selanjutnya, krisis multidimensi semakin lama, yang mau tak mau akan mengancam eksistensi rezim.

Berhenti menyerang intelektual dan pihak oposisi pada saat sekarang adalah sikap yang lebih masuk akal dan mulia ketimbang menyokong rezim dengan berbohong setiap hari.

(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE))
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: