DEMOKRASI.CO.ID - DPR dan pemerintah masih ngotot membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Minerba di tengah pandemi corona. Pada 14 April 2020, DPR resmi membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sedangkan untuk RUU Minerba, Panja sudah terbentuk 13 Februari 2020.
Meski rencana pembahasan RUU Minerba oleh Panja dan pemerintah telah ditunda dari seharusnya 8 April 2020, namun opsi pembahasan masih dijadwalkan lagi menjadi 21 April 2020 mendatang.
RUU Minerba sebetulnya nyaris disahkan DPR periode sebelumnya, tapi diprotes lewat aksi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiwa dan masyarakat umum pada akhir September 2019 lalu sehingga akhirnya ditunda.
Dalam kedua aturan itu, terselip kepentingan para taipan tambang batu bara. Ada pasal-pasal mengenai perpanjangan izin operasi untuk perusahaan-perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) yang kontraknya akan berakhir pada tahun ini hingga 2025.
Ada 7 PKP2B generasi I yang menguasai 70 persen produksi nasional. Ketujuh perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang kontraknya mau habis yaitu PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
Baik dalam RUU Minerba maupun Omnibus Law, pemegang PKP2B bisa memperoleh perpanjangan 20 tahun otomatis tanpa melalui lelang. Di RUU Minerba, perpanjangan diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), adapun di Omnibus Law dalam bentuk Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK). Luas wilayah pertambangan pun tak dikurangi.
Hal ini berbeda dengan UU Minerba yang saat ini berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dimana wilayah eks PKP2B diprioritaskan untuk diberikan kepada BUMN. Ketentuan itu tercantum pada Pasal 75 ayat 3. Kemudian di Pasal 75 ayat 4 diatur bahwa badan usaha swasta hanya dapat memperoleh IUPK melalui lelang.
Selain itu, dalam Pasal 83 huruf b UU Minerba disebutkan bahwa luas Wilayah IUPK (WIUPK) Operasi Produksi maksimal 25 ribu hektare (ha). Sementara saat ini para pemegang PKP2B mengelola wilayah dengan luas di atas 25 ribu ha.
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, berpendapat bahwa pengesahan RUU Minerba di masa pandemi seperti saat ini menunjukkan pemerintah dan DPR tak punya empati dan upaya sungguh-sungguh dalam penanganan COVID-19. Sebab, semestinya pemerintah fokus menyusun langkah konkret dalam mengatasi wabah corona ini.
"Tidak ada urgensinya (RUU Minerba dan Omnibus Law), kecuali menyelamatkan perusahaan-perusahaan itu. Kalah COVID-19 dengan perusahaan-perusahaan ini," ujar Faisal dalam video conference, Rabu (15/4).
Pakar hukum dari Universitas Tarumanegara yang masuk dalam Tim Perumus Omnibus Law, Ahmad Redi, mengungkapkan bahwa terjadi perdebatan dalam pembahasan ketentuan soal perpanjangan izin operasi untuk para pemegang PKP2B. Ia termasuk pihak yang menginginkan wilayah eks PKP2B diserahkan pada BUMN.
Namun pemerintah dan para pengusaha yang diwakili Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ngotot supaya pemegang PKP2B mendapat perpanjangan.
"Kita awalnya mengusulkan, ketika PKP2B berakhir maka dilanjutkan oleh BUMN. Usulan ini mentah karena Menko Perekonomian sependapat dengan usulan Menteri ESDM agar kemudian dilanjutkan oleh eks PKP2B, itu didukung oleh Kadin. Kementerian ESDM bersikukuh perpanjangan tetap diberikan pada pemegang PKP2B, menjadi Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK) (bukan IUPK)," ujar Redi, Senin (10/2).
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menargetkan rapat pembahasan Omnibus Law dapat dilakukan sebelum masa reses pada 12 Mei mendatang.
Sedangkan untuk RUU Minerba, Panja menargetkan beleid tersebut selesai pada Agustus 2020. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto tak menampik jika pembahasan RUU Minerba ini karena banyak PKP2B generasi I yang mau habis.
"Insyaallah (Agustus selesai) karena memang beberapa PKP2B ada yang sudah mau selesai bulan sebelas," kata dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/2). []