DEMOKRASI.CO.ID - Para perantau yang mudik dari kota-kota episentrum kasus Covid-19 menjadi sorotan publik karena dianggap menambah masalah baru penanganan virus. Bahkan sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Nurhadi, menyebut mereka bukan sebagai pemudik, namun sebagai pengungsi.
"Mereka mungkin lebih tepat disebut sebagai pengungsi, bukan pemudik. Karena secara kultural ketika seseorang mudik pasti dalam keadaan menang, dalam keadaan bahagia, keadaan yang bagus," kata Nurhadi, Senin (6/4/2020).
Berbeda dengan kondisi saat ini. Pemudik datang justru dengan keadaan serba sulit. Di kota, mereka yang bekerja di sektor informal banyak mengalami penurunan pendapatan semenjak terjadi wabah Corona.
Sementara ketika sampai di desa, mereka juga belum tentu diterima dengan baik oleh masyarakat karena bisa dianggap sebagai pembawa virus.
Namun menurutnya, pilihan kembali ke desa merupakan keputusan yang wajar. Sebab di desa lebih memberikan kepastian hidup dibandingkan di tempat perantauan. Karena desa memiliki jaring pengaman sosial yang lebih baik.
"Ketika berada di desa, mereka tidak terlalu khawatir dengan urusan pangan. Sementara kota tidak memberikan perlindungan karena umumnya mereka adalah pekerja di sektor informal," ujarnya.
Nurhadi berpesan agar masyarakat di zona merah Covid-19 tidak pulang kampung dulu. Begitu pula masyarakat yang berada di zona hijau, diharapkan tetap bertahan di tempatnya sampai kondisi keseluruhan sudah dinyatakan aman.
Pemerintah dinilai perlu mengantisipasi adanya gerakan mudik dini. Paling tidak pemerintah di daerah, terutama tingkat RT harus mendata adanya warga yang pulang kampung.
Begitu pula pemudik harus proaktif melapor jika sampai di kampung. Mereka harus mengkarantina diri di rumah selama 14 hari.
"Dalam kondisi seperti ini, pemimpin lokal harus berperan agar tidak terjadi disorganisasi sosial. Imbauan-imbauan pemerintah harus dijalankan dengan pendekatan local wisdom agar bisa dipahami seluruh warga," ujar Nurhadi.
Dia mencontohkan bagaimana agar warga dengan sukarela melakukan karantina mandiri tanpa pemaksaan. Selain itu, penggunaan istilah-istilah physical distancing harus bisa diterjemahkan dengan baik agar warga tidak salah paham.
"Misalnya budaya bersalaman yang kini tidak dianjurkan. Tokoh lokal harus bisa memahamkan agar masyarakat menerima," pungkasnya.(dtk)