DEMOKRASI.CO.ID - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui, Kemenkes tak terbuka menyampaikan data terkait kasus COVID-19 di Indonesia. Bahkan BNPB sendiri tak bisa mengakses data secara menyeluruh.
"Betul masih banyak yang tertutup," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo dalam diskusi virtual yang diunggah akun Youtube Energy Academy Indonesia, Minggu (6/4/2020).
"Saya juga baru tahu kalau Kementrian kesehatan itu tiap hari melaporkan data ke WHO itu nomor, jenis kelamin, umurnya, sama statusnya seperti apa. Baru tahu juga kalau ada data seperti itu," imbuhnya.
Maka dari itu, hingga kini BNPB merintis aplikasi Lawan COVID-19. Mereka akan meminta tenaga kerja dari BNPB, BPBD, TNI, dan Polri untuk memasukkan data dalam aplikasi tersebut.
"Kami mendapat feeding dari Kemenkes memang terbatas datanya. Kami memang belum bisa menghasilkan data yang sangat lengkap atau terbuka. Itu memang salah satu kendala saat ini," tuturnya.
Selain itu, BNPB juga mengakui, data pemerintah pusat dari Kemenkes berbeda dengan yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Untuk menyiasati itu, kata Agus, BNPB mengumpulkan data dari keduanya: Data terbatas dari Kemenkes dan pemerintah daerah.
"Kami sandingkan. Tapi yang dipublikasi apa yang disampaikan Pak Yuri [juru Bicara tpemerintah tangani COVID-19]. Tapi di belakang layar, kami punya seluruh data," ujarnya.
Sebelumnya, Aktivis gerakan Kawal Covid Ainun Najib menegaskan ada problem besar dari data nasional yang disampaikan oleh Kemenkes atau pemerintah pusat. Tingkat validitas data itu dipertanyakan. Sebab belakangan, per hari, konsisten terdapat 100 kasus baru positif terjangkit COVID-19. Padahal sudah ada 14 laboratorium untuk tes COVID-19 di berbagai daerah.
"Kenapa Kemenkes tidak menggunakan hasil tes dari laboratorium daerah mapun dari rapid test pemerintah daerah untuk menjadi angka resmi," kata Ainun.
Dia juga menegaskan, keterbukaan data terkait COVID-19 itu sangat penting. Salah satunya agar tidak ada tindakan yang salah untuk merespons atau mengendalikan virus tersebut.
"Padahal tanpa kita tranparan soal data. Kita mesti waspada atau tidak? Jangan-jangan masyarakat Indonesia malah nyantai karena sudah melandai tiap hari cuma 100," tuturnya.[ti]