logo
×

Senin, 06 April 2020

Bencana Virus Corona di Indonesia: Ketika Suara Ilmuwan Tak Didengar

Bencana Virus Corona di Indonesia: Ketika Suara Ilmuwan Tak Didengar

DEMOKRASI.CO.ID - Penanganan virus corona di Indonesia tampak mengacuhkan riset ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti dan ahli. Itu terlihat sejak awal isu virus corona di Indonesia hingga hari ini ketika pasien positif COVID-19 mencapai 2.273 orang.

Masih segar di benak kita saat Menteri Kesehatan Terawan menilai riset Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat, pada Februari 2020 sebagai penghinaan. Saat itu, riset Harvard memprediksi bahwa semestinya Indonesia telah mencatat kasus positif COVID-19 karena sejumlah penerbangan dari dan ke China masih dibuka pada Januari 2020. Prediksi mereka pun benar, di mana pasien corona 01 dan 02 sangat mungkin terinfeksi pada bulan Februari 2020.

Tak hanya Menkes Terawan, sejumlah figur pemerintahan juga seolah mengabaikan potensi serius corona di Indonesia. Kita masih ingat beberapa lelucon dan komentar optimis non-ilmiah yang dilontarkan para menteri dan setingkatnya, yang seakan menempatkan virus corona bukan masalah serius yang harus diantisipasi. Sampai kemudian virus tersebut menjadi darurat nasional dengan tingkat kematian di Indonesia sebesar 9,13 persen, lebih besar dari rata-rata tingkat kematian global yang 'hanya' 5,38 persen.

Ketiadaan antisipasi sejak awal itu tidak kemudian membuat pemerintah mendengar saran para ilmuwan. Sejumlah imbauan peneliti agar pemerintah menerapkan intervensi tinggi belum dilaksanakan, begitu juga dengan anjuran lockdown atau karantina wilayah.

Presiden Jokowi menyebut, kebijakan lockdown yang diterapkan di sejumlah negara tak bisa diterapkan di Indonesia karena faktor karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda. Oleh karena itu, "di negara kita yang paling pas adalah physical distancing", kata Jokowi.

Di sisi lain, komunitas ilmiah sepakat bahwa lockdown diperlukan sebagai cara paling efektif untuk menekan persebaran virus corona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), misalnya, menyebut bahwa lockdown atau karantina wilayah merupakan satu-satunya cara agar pemerintah suatu negara dapat memperlambat penyebaran virus corona.

“Kita harus menerapkan pengawasan kesehatan masyarakat, isolasi, karantina, penemuan kasus, dan deteksi. Kita harus dapat menunjukkan bahwa kita dapat menang melawan virus, karena lockdown saja tidak akan berfungsi,” kata Michael Ryan, Direktur Eksekutif WHO, dalam sebuah briefing pers virtual, Senin (30/3).

“Namun sayangnya, dalam beberapa situasi saat ini, lockdown adalah satu-satunya ukuran yang dapat diambil pemerintah untuk memperlambat virus ini. Itu sangat disayangkan, tetapi itulah kenyataannya,” sambungnya.

Senada dengan WHO, kelompok riset dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia juga menyebut bahwa intervensi tingkat tinggi dari pemerintah diperlukan untuk mengurangi jumlah kasus dan kematian dari pasien COVID-19. Menurut skenario pemodelan yang mereka buat, virus corona bisa menginfeksi 2,5 juta orang di Indonesia bila negara tidak melakukan intervensi; lalu 1,7 juta orang bila dilakukan intervensi ringan; 1,2 juta orang bila dilakukan intervensi moderat, dan 500 ribu “saja” bila intervensi ketat diterapkan.

Adapun kasus kematian akibat virus corona di Indonesia bisa mencapai 240.244 orang bila negara tak mengintervensi, 144.266 orang bila terdapat intervensi ringan, 47.984 orang bila dilakukan intervensi moderat, dan 11.898 orang bila intervensi ketat diterapkan. 

Oleh karenanya, para peneliti FKM UI menyarankan pemerintah segera mengambil kebijakan karantina wilayah.

“Karantina Pulau Jawa. Batasi mobilitas di dalam pulau. Batasi mobilitas penduduk di dalam pulau dan antar-pulau,” jelas Pandu Riono, PhD., dokter dan staf pengajar FKM UI yang ikut menyusun skenario pemodelan tersebut. “Tidak boleh ada perpindahan antar-provinsi atau antar-kabupaten di pulau itu. Dan lakukan segera mungkin, karena seharusnya sudah dari minggu lalu.”

Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyadari bahwa jumlah kasus virus corona di Indonesia tidaklah sedikit. Pada Maret 2020, juru bicara pemerintah untuk penanganan kasus virus corona, Achmad Yurianto, sempat mengungkap bahwa kemungkinan ada 700.000 orang di Indonesia yang berpotensi terinfeksi virus tersebut.

Sayang, pemerintah lebih memilih untuk menerbitkan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai cara untuk menanggulangi wabah virus corona SARS-CoV-2. Sejumlah ahli hukum dan pengamat menilai bahwa PP tersebut tidak mencerminkan progres pemerintah untuk mencegah penularan infeksi virus corona yang lebih masif di Indonesia.

"Kesan PP PSBB dikeluarkan khusus sekadar formalitas semata terlalu kentara," menurut catatan Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia. 

Dalam catan tersebut, PSHTN UI menyoroti 5 kekurangan PP PSBB dalam menuntaskan masalah. Salah satu poin lain yang juga disorot oleh mereka adalah kurangnya paparan pelaksanaan PSBB karena PP tersebut hanya detail mengatur mekanisme pengajuan PSBB dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Adapun Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, menduga pemerintah tak mau menerapkan karantina wilayah karena enggan menanggung biaya hidup rakyatnya. Sebab, UU Kekarantinaan Kesehatan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah jika karantina wilayah berlaku. Itu artinya, Roy bilang, pemerintah ingin membuat kebijakan gratisan.

Inefisiensi kebijakan pun membuat sejumlah ilmuwan dunia mengkhawatirkan kondisi Indonesia di tengah wabah corona. Sebagai contoh, dosen ahli politik Asia Tenggara di Griffith University, Lee Morgenbesser, menganalogikan Indonesia sebagai 'tong mesiu'.

"Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling saya khawatirkan. Mereka adalah tong mesiu. Populasinya sangat besar dan birokrasi yang tidak efisien," kata Morgenbesser, dikutip dari The Sydney Morning Herald.

Sejumlah ahli kesehatan juga menyoroti kurangnya upaya preventif penyebaran virus corona yang dibuat pemerintah.

Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, misalnya, menilai bahwa pemerintah terlampau fokus pada upaya kuratif (penyembuhan) ketimbang antisipatif. Padahal, pencegahan penyebaran diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah pasien COVID-19 tidak melebihi kapasitas fasilitas kesehatan (faskes) yang ada.

“Membangun rumah sakit darurat, membeli APD (alat pelindung diri), membeli obat yang belum ketahuan efektivitasnya, itu upaya kuratif. Sementara peningkatan kesadaran masyarakat atas COVID-19 sangat terbatas," katanya.

Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 43 negara yang diriset, Indonesia berada di peringkat 41 dalam hal ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk. Posisi itu hanya menempatkan Indonesia lebih baik ketimbang India dan Kosta Rika.

Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 yang dirilis Kemenkes, menunjukkan Indonesia punya 1,2 ranjang tiap 1.000 penduduk. Menurut rujukan tersebut, standar WHO adalah 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk.

Dengan demikian, meskipun masih kalah jauh rasionya dibandingkan negara lain, Indonesia sudah memenuhi standar secara umum. Masalahnya, persebaran tempat tidur yang tersedia itu tidak merata diseluruh provinsi, dengan 8 provinsi yang rasionya berada di bawah standar WHO yakni Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81) dan NTB (0,71).

Pertanyaan mengenai kemampuan faskes Indonesia untuk menampung pasien COVID-19 sangat relevan di tengah isu arus mudik yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Di tengah ketakutan tertular virus corona dan ketidakpastian ekonomi di Jakarta, masyarakat lebih memilih untuk balik ke kampung halaman.

Menariknya, komunikasi pemerintah terhadap isu arus mudik terkesan ambigu dan sulit dipahami. Pada Kamis, 2 April lalu, misalnya, Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rahman, membuat pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan mudik dengan syarat isolasi diri selama 14 hari. Pernyataan tersebut tak berlaku lama karena di sore harinya, Fadjroel meralat bahwa pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudik.

Terbaru, dalam ratas virtual Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Presiden Jokowi sempat menyinggung bahwa kondisi cuaca di Indonesia turut mempengaruhi perkembangan virus corona. Namun, dia tak merinci konteks serta kaitan antara cuaca dan virus SARS-CoV-2.

“Kalau kita lihat dengan musim yang ada sekarang, saya kira cuaca juga sangat mempengaruhi berkembangnya COVID-19 ini," ucap Jokowi saat membuka ratas online, Kamis (2/4).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, juga menyebut bahwa suhu punya pengaruh terhadap virus corona. Menurutnya, Indonesia bakal mendapatkan keuntungan dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tinggi pada bulan April.

"Indonesia diuntungkan dengan temperatur tinggi pada April. Ini humidity (kelembaban) tinggi buat COVID-19 relatif lemah daripada tempat lain," kata Luhut kepada wartawan, Selasa (31/3).  "Tapi kalau kita social distancing tidak juga ketat, terlalu banyak berkumpul ramai-ramai, ya, enggak berlaku tadi keuntungan kita tadi dari panas atau humidity tadi," ungkapnya.

Pernyataan tersebut benar dalam hal daya tahan virus corona. Sejumlah penelitian menyebut bahwa suhu udara berdampak pada masa hidup virus tersebut.

Meski demikian, penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa suhu cuaca dan kelembaban tidak mempengaruhi tingkat penyebaran kasus SARS-CoV-2 di wilayah tropis seperti Indonesia.

Berbeda dengan Harvard, laporan terbaru dari tim Gabungan BMKG dan UGM menunjukkan beberapa riset sebelumnya menyebut bahwa iklim dapat menjadi faktor pendukung dalam menekan kasus wabah virus corona. Namun, faktor alam tak akan punya pengaruh banyak jika intervensi pemerintah untuk menerapkan pembatasan sosial yang tegas tidak dilakukan secara serius.

"Akhirnya laporan tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Senada dengan BMKG, peneliti dari French Institute of Health and Medical Research, Vittoria Colizza juga mengatakan bahwa penularan virus corona lebih banyak terjadi lewat kontak dekat antara penderita dengan orang lain. Dia menyarankan agar pemangku kebijakan melakukan imbauan yang telah direkomendasikan oleh para pakar.

“Belum ada bukti yang cukup tentang perubahan perilaku virus COVID-19 terhadap cuaca,” ujarnya, dikutip BBC. “Kalaupun kasus COVID-19 mulai berakhir di bulan depan, itu bukan hanya karena cuaca, tapi ada tindakan pencegahan yang berperan di dalamnya, seperti karantina wilayah atau lockdown, isolasi, dan pola hidup masyarakat dalam mencegah terjadinya penularan,” sambungnya.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan nyata segera, alih-alih hanya bergantung pada faktor alam atau physical distancing yang lagi-lagi cuma imbauan, tanpa ada sanksi tegas. Sudah waktunya suara-suara ilmuwan dan para ahli ini didengar untuk selamatkan nyawa.[um]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: