DEMOKRASI.CO.ID - Kasus penusukan yang terjadi terhadap Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto, telah memasuki persidangan.
Terdakwa Syahrial Alamsyah alias Abu Rara (51) beserta istrinya Fitri Adriana (21) adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Mereka
diadili di Indonesia, Kamis, denhan tuduhan upaya melakukan pembunuhan.
Kasus ini cukup menyita perhatian di tengah kondisi politik Indonesia yang memanas ketika itu.
Channel News Asia pada Jumat (10/4) dini hari waktu setempat menuliskan, jika keduanya terbukti bersalah, kemungkinan mereka akan menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Persidangan di Jakarta dilakukan melalui konferensi video terkait kekhawatiran penularan virus corona. Pengacara dan hakim yang mengenakan masker mendengar membacakan dakwaan terhadap dua orang pelaku ini.
Upaya pembunuhan itu terjadi pada bulan Oktober saat Wiranto berkunjung ke Kabupaten Pandeglang.
"Keduanya memutuskan bahwa sang suami akan menyerang Wiranto sementara sang istri akan menyerang siapa pun yang mengenakan seragam polisi atau militer," bunyi dakwaan tersebut.
Abu Rara diduga menikam Wiranto, yang ketika itu keluar dari mobil. Sesaat ia berhasil dibekuk, bersamaan dengan itu istrinya yang berada tak jauh darinya ikut dibekuk.
Wiranto selamat dari serangan itu, tetapi ia menderita luka pisau di perutnya dan beberapa lainnya juga terluka.
Beberapa hari sebelum serangan, pasangan itu berjanji untuk mendiang pemimpin IS, Abu Bakar al-Baghdadi, menurut dakwaan.
Dalam persidangan, Abu Rara mengungkapkan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 menaiki helikopter untuk menangkap dirinya karena sudah berbaiat pada Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Jaksa Penuntut Umum Herry Wiyanto dalam sidang agenda pembacaan dakwaan mengatakan, Abu Rara sempat khawatir dan merasa dirinya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), setelah polisi menangkap anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Bekasi, Abu Zee pada September 2019, melansir Antara, Kamis (9/4).
Herry menjelaskan alasan Abu Rara melakukan penikaman.
Menurutnya, terdakwa ketakutan dan merasakan dirinya sudah masuk dalam daftar pencarian orang, maka hidup sia-sia jika tidak melakukan perlawanan maupun melakukan amaliah jihad berupa penyerangan maupun perlawanan.
Di Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis, Herry pun menguraikan, pada 9 Oktober 2019 pukul 15.00 WIB, istri Abu Rara, Fitria Diana yang berada di kontrakan mengaku mendengar suara pesawat helikopter dan dianggap polisi akan menangkap Abu Rara.
Hal itu membuat terdakwa menyuruh istrinya mematikan ponsel, kemudian mengajak istri dan anaknya, RA (12) menuju alun-alun Menes untuk mencari tahu tujuan mendaratnya pesawat helikopter.
Saat mengetahui bahwa keesokan harinya ada kunjungan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, yang saat itu dijabat Wiranto, Abu Rara mengajak istri dan anaknya merencanakan penyerangan terhadap Wiranto.
Abu Rara sempat membuat status pamitan di WhatsApp, kemudian menghubungi saksi Ummu Faruq di aplikasi Telegram untuk memberitahukan, dirinya akan melakukan amaliyah menyerang Wiranto.
Kamis 10 Oktober 2019, sekitar pukul 05.00 WIB, Abu Rara memimpin baiat istri dan anaknya dalam rangka mempersiapkan amaliyah, kemudian memberikan masing-masing satu pisau kunai untuk penyerangan.
"Sebelum berangkat, terdakwa berpesan kepada istri dan anaknya agar nanti di alun-alun Menes tidak bertegur sapa, seolah-olah tidak saling kenal. Jangan dekat, tapi jangan jauh-jauh juga," ujar Herry.
Setelah menyerang Wiranto, Abu Rara juga menyerang orang-orang di sekitar Wiranto yang berusaha mengamankannya.
Istri Abu Rara, ikut melakukan penyerangan dari belakang menggunakan pisau kunai dan mengakibatkan Kompol Daryanto mengalami luka di bagian punggung.
"Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 15 junto Pasal 6 junto pasal 16 Undang-undang nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang," ujar Herry.[rmol]