OLEH: SYAFRIL SJOFYAN
SETELAH di Provinsi Hubei, RRC epicentrum Covid-19 mulai mereda dari serangan wabah pandemik Covid-19, China kembali memperlihatkan agresivitas ambisinya menguasai dunia, melalui penguasaan daerah strategis Laut China Selatan (LCS). Vietnam protes, Malaysia protes. Terhadap keberadaan kapal-kapal Negeri Tirai Bambu di LCS.
Bukan menerima protes. Pemerintah China malah semakin menggila dengan proklamasi kedaulatan LCS. Kementerian Sumber Daya Alam dan Kementerian Urusan Sipil Pemerintah China merilis pernyataan dengan mengumumkan nama-nama wilayah dan koordinat yang dikuasai China di LCS, yang meliputi 25 pulau, beting, terumbu, serta 55 gunung dan punggung laut.
Walaupun China meratifikasi konvensi PBB hukum laut UNCLOS kedaulatan hanya 12 mil laut dari daratan. Rupanya Pemerintah China sudah tidak peduli UNCLOS mereka proklamasikan kedaulatan yang sangat jauh dari daratannya.
Hari ini Jumat, 24 April 2020, Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan kapal perang AS sudah berlayar melalui Selat Taiwan untuk kedua kalinya dalam sebulan. Menurut kementerian, kapal tersebut telah transit di Selat Taiwan yang sempit, yang memisahkan pulau itu dengan China daratan.
Jurubicara Armada Ketujuk AS, Letnan Anthony Junco menyebut pihaknya telah melakukan transit ke Selat Taiwan secara rutin, sesuai dengan hukum internasional. Menunjukkan komitmen AS terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Pertentangan antara kedua negara super power tersebut tidak akan pernah selesai, perang dagang yang sampai sekarang masih belum berujung, selama masih adanya ambisi untuk menguasai dunia baik secara fisik maupun dengan perangkap utang kebeberapa Negara yang tidak mampu.
Posisi Indonesia sekarang sebagai antek China dalam berbagai kebijakannya bukan tidak diketahui oleh Negara USA ataupun Eropa.
Berbagai kebijakan investasi menganakemaskan RRC dalam hal kebijakan investasi, seperti Kereta Cepat China yang tiba-tiba diterima walaupun sebelumnya studi kelayakan dan keinginan Jepang terlebih dulu. Tambang-tambang strategis seperti Tambang Nikel sebagai bahan dasar battery lithium dan tambang lainnya diberikan kepada China, dengan semua ketentuan ketenagakerjaan dilanggar dan dirubah, harus bisa berbahasa Indonesia dihilangkan, semua lapisan dari pekerja kasar TKA China diperbolehkan melalui kontrak investasi, kemudahan tersebut secara kasat mata dilakukan.
Selama wabah Covid-19 TKA China masih berdatangan. Boleh dikatakan ketergantungan terhadap China dalam segala hal, bahkan sempat LBP Menko Manvest, menawarkan pengelolaan BPJS kepada Investor China.
Bermain mata dengan China bukan tanpa resiko, beberapa negara pernah merasakan China Money Trap, begitu juga pihak USA melalui perang dagangnya, ekonomi Indonesia terdampak babak belur, target pertumbuhan tidak pernah tercapai, pertumbuhan ekspor Vietnam lebih melesat, dalam kondisi perang dagang, karena Vietnam lebih tegas terhadap investasi China, konon di Vietnam dalam suatu tragedy serangan beberapa TKA China mati diserang.
Berbagai kemudahan sudah dicabut oleh USA dengan menetapkan Indonesia sebagai negara maju, padahal pendapatan perkapita masih jauh dibanding Korea Selatan bahkan Malaysia.
Dalam hal ini sangat tepat dan relevan kritik keras Dr. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, agar Indonesia harus mampu keluar dari jerat ketergantungan dengan negeri China. Jangan lagi jadi antek China. Konstitusi kita jelas bebas aktif. Tidak ikut Blok Barat, Blok Timur. Kita harus bebas aktif.
Lebih lanjut mantan Menko Maritim itu menekankan bahwa selama ini Indonesia terkesan lemah di hadapan China. Mulai dari lemah menyikapi para pekerja China yang bisa hilir mudik di saat wabah melanda, hingga perdagangan yang berkiblat ke negeri tirai bambu itu.
Sebagai Non Blok sejarah telah menunjukan Indonesia pernah berpengalaman sebagai pelopor dan komando dari New Emerging Forces. Menyatukan dan mengangkat martabat negara-negara di Asia Afrika sebagai kekuatan Non Blok terpandang di dunia.
Ketika perang dingin antara Uni Sovyet dan USA. Indonesia disegani sebagi kekuatan dunia ketiga, sayangnya kemudian di masa Orla terjebak kembali dalam poros Jakarta-Peking. Sehingga kemudian Indonesia tidak lagi dipandang sebagai kekuatan utama di dunia.
Saatnya sekarang ketika negara-negara besar "lumpuh secara ekonomi" baik RRC, USA dan Eropa karena wabah virus dari China, pandemik Covid-19. Indonesia harus keluar sebagai negara dengan kekuatan sendiri tidak lagi jadi antek China ataupun antek Amrik.
Tentu ada prasyaratnya. Adanya pemimpin yang berani dan berwibawa. Bisa menyatukan dan meyakinkan rakyatnya. Mampu berkomunikasi dan mengelorakan semangat rakyat. Mampu membangkitkan semangat persatuan, negara-negara non blok lainnya.
Pemimpin berkarakter kuat tidak jadi boneka olikargi partai ataupun olikargi pemodal. Punya kemampuan dan keahlian bidang ekonomi yang dipercaya dunia untuk bisa keluar dari keterpurukan ekonomi karena krisis ekonomi sekarang sangat menghancurkan sendi sendi kehidupan tanpa kecuali.
Tentunya pemimpin yang bergaul dan disegani oleh negara-negara di dunia, dengan kecerdasan dan kemampuan berbahasa internasional untuk meyakinkan pemimpin negara lain.
Percayalah Indonesia akan menjadi negara super power dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
(Penulis adalah pengamat kebijakan publik, aktivis Pergerakan 77-78.)