DEMOKRASI.CO.ID - Sektor dunia usaha kini menghadapi beban yang sangat berat di tengah efek kejut virus corona atau COVID-19 yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.
Belum genap 1,5 bulan, pelaku usaha sudah dibuat porak poranda, pemasukan menipis, produksi terganggu, tapi beban pengeluaran tetap yang membuat dunia usaha di ambang kebangkrutan massal. Hal ini harus jadi perhatian pemerintah, khususnya Presiden Jokowi.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono, mengatakan daya tahan pengusaha di Indonesia memang berbeda tergantung sektornya. Namun, secara umum mereka hanya akan kuat dalam artian sanggup membiayai pengeluaran tanpa pemasukan, sampai akhirnya tutup. Ini hanya kuat sampai tiga bulan ke depan apabila corona belum berakhir.
Ia bilang tingkat keparahan dan durasi dari wabah ini merupakan kuncinya. Semakin parah pandemi corona dan semakin lama durasinya, maka semakin rusak ekonomi Indonesia.
"Hasil konferensi call kita di APINDO dengan teman-teman di daerah dan pelaku sektoral, bisa kita ambil kesimpulan sementara daya tahan cash flow kita hanya sampai bulan Juni tahun ini. Lewat dari itu cash flow kering, kita tidak akan sanggup membiayai pengeluaran, tanpa pemasukan alias tutup," kata Iwantono kepada CNBC Indonesia, Senin (6/4).
Iwantono mengatakan satu-satunya jalan untuk menolong kebangkrutan adalah menurunkan sebisa mungkin beban biaya usaha antara lain beban biaya karyawan (gaji THR dst), beban pajak dengan segala variasinya, beban-beban overhead listrik gas dan sejenisnya, beban cicilan utang, bunga, asuransi dan yang terkait dengan itu, iuran BPJS dan pensiun dan yang terkait.
"Kalau perusahaan dipaksa untuk membayar beban-beban itu saat ini, pasti gulung tikar, dan kita akan dilanda pengangguran yang parah," katanya.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah bertindak cepat mencegah kebangkrutan ekonomi. Caranya antara lain pada kebijakan fiskal untuk membebaskan atau setidak-tidaknya menangguhkan untuk jangka waktu yang cukup berbagai beban biaya seperti pajak dengan segala bentuk dan turunannya, beban karyawan dengan segala pengeluaran yang terkait, beban overhead seperti listrik dan sejenisnya, pajak air tanah, PBB dan sejenisnya, beban moneter cicilan utang, bunga, denda dan segala beban sejenisnya.
"Kita menghargai stimulus sebesar Rp 405,1 triliun beberapa hari lalu. Termasuk di dalamnya ada soscial safety net yang diperuntukkan bagi mereka yang dirumahkan tanpa pembayaran (unpaid leave), PHK, golongan pekerja harian informal, UMKM dan perlindungan sosial lain seperti PKH, Kartu Pra Kerja, dll," katanya.
Namun, ia juga mengingatkan golongan rakyat lapisan bawah haruslah mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah agar mereka bertahan hidup dalam situasi yang sulit ini.
"Hanya saja antara bantuan uang tunai dan bantuan dalam bentuk barang (in kind) perlu dicari proporsi yang tepat. Jangan sampai pemberian uang tunai malah mendorong orang berkeliaran di luar rumah termasuk dipakai untuk pulang mudik, yang kontra produktif bagi upaya penghentian penyebaran virus," katanya.
Ia kembali mengingatkan kunci keluar dari krisis ini adalah mengakhiri proses penularan karena akan menentukan seberapa lama durasi wabah ini. Semakin parah dan semakin lama maka stimulus itu semakin kehilangan daya redam, dan seberapa lama transmisi dari kebijakan itu terealisasi di lapangan.
"Saya melihat masih banyak pemerintah daerah, kementerian dan lembaga, stake holder termasuk bank-bank umum yang tidak responsive. Pemerintah daerah masih juga mengejar-ngejar pajak. Bank umum belum juga berkenan untuk diajak negosiasi," katanya.
Bila kondisi demikian masih terjadi maka harapan virus corona segera berakhir ini akan semakin lama. Di sisi lain kemampuan pengusaha terus melemah dari dampak pukulan corona ini. Ini karena saat ini saja dunia usaha sudah mengalami penurunan drastis dari sisi permintaan maupun penawaran ekonomi saat ini terhenti.
Dari sisi permintaan, semua orang harus tinggal di rumah dan isolasi, "social distancing" dari yang lemah hingga yang keras. Artinya tidak ada lagi orang berbelanja, kecuali sekedar untuk makan. Dari sisi penawaran sama terhenti, tidak ada proses produksi karena orang harus tinggal di rumah. Dua sisi penawaran dan permintaan mandek, pasti ekonomi juga akan mandek.
"Ekonomi tidak akan bisa beranjak baik sepanjang virus korona tidak dapat dihentikan. Sedangkan kapan berhentinya korona ini masih gelap," katanya.
Ia bilang corona akan terhenti ketika tubuh rakyat sudah imun, kebal terhadap virus korona, atau ada obatnya. Menurutnya dari para ahli kesehatan mengatakan virus tidak ada obatnya. Sehingga solusinya adalah imunitas tubuh.
"Imun bisa terbentuk melalui 2 skenario, yaitu skenario pertama dilakukan vaksinasi, atau skenario kedua orang terpapar dulu virus korona kemudian sembuh, melalui 2 cara itu terbentuk imunitas tubuh," katanya.
Kini, faktanya vaksin menurut para ahli belum akan tersedia dalam waktu 1 tahun ke depan. Sedangkan kalau skenario kedua, membangun imun alami, maka orang harus terpapar dulu.
"Akan berapa juta nyawa yang harus dipertaruhkan, adalah malapetaka kemanusiaan yang sulit dibayangkan jika peristiwa itu terjadi. Inilah kondisi yang sangat sulit," katanya.
Ia mendorong agar pemerintah harus belajar dari pengalaman Tiongkok dan Korea Selatan dalam mengambil tindakan menghadapi COVID-19.
"Tak seorang pun di garda depan pemberantasan korona dibatasi oleh kurangnya dana. Unit perawatan intensif rumah sakit harus diperluas; rumah sakit sementara harus dibangun; dan ventilator, alat pelindung diri, masker, desinfektan, sanitizer harus diproduksi secara massal dan tersedia bagi semua yang membutuhkannya," katanya.[cnbc]