DEMOKRASI.CO.ID - Sebanyak 1,2 juta alat perlindungan diri atau APD yang dibutuhkan dalam masa wabah Corona diduga lolos ekspor ke Korea Selatan.
Barang-barang produksi sejumlah pabrik garmen di Indonesia tersebut dikabarkan lolos dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok meski sebelumnya sempat ditahan oleh petugas Bea Cukai.
Sumber Tempo di lingkungan otoritas terkait menyebutkan bahwa eksportir diduga memalsukan HS Code sehingga jenis barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan yang tertera pada dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang atau PEB.
"Dokumen ekspor yang direkayasa ini untuk menghindari larangan ekspor," kata sumber Tempo pada Senin, 6 April 2020.
Berdasarkan dokumen yang diterima Tempo, ekspor APD itu direkap per 20 Maret 2020 dan dikirimkan oleh enam perusahaan di Bogor, Jawa Barat.
Keenamnya adalah perusahaan berinisial PT GI, DD, PG, IB, PH, dan II.
Dokumen tadi menunjukkan bahwa APD sebanyak 400.561 kilogram itu tercacah menjadi 45 pengiriman. Di beberapa pengiriman, misalnya yang dilakukan PT DD, APD dicatat sebagai garmen dan aksesoris bayi pada uraian HS-nya.
Adapun barang yang dikirimkan oleh perusahaan PT GI dicatat sebagai mantel panjang, cat coat, dan jubah dari serat buatan.
Benda dalam catatan HS tersebut tidak sesuai lantaran jenis barang pada PEB sesungguhnya adalah ready made garment jacket dan pelindung berbahan non-woven seperti masker.
Dokumen itu juga menunjukkan beberapa barang sempat ditahan oleh petugas dan dilakukan penindakan. Misalnya untuk barang yang dikirim GI, PT DD, IB, dan PH.
Beberapa barang juga telah diberi catatan dilarang ekspor sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2020 tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri, dan Masker.
Nyatanya, masih menurut dokumen yang sama, seluruh APD itu lolos dan tetap dikirimkan ke Korea Selatan.
Dikonfirmasi Tempo, Kepala Kantor Bea Cukai Bogor Tatang Yuliono tak menampik ada ekspor barang dari enam pabrik di Bogor ke Korea Selatan.
Dia menyatakan tidak berwenang melakukan pembongkaran terhadap barang siap ekspor. Kata Tatang, Kantor Bea Cukai Bogor sebatas mencatat Nota Pelayanan Ekspor atau NPE.
"Penelitian dan pemeriksanaannya ada di pelabuhan muat," ucap Tatang saat dihubungi Tempo pada Senin, 6 April 2020.
Menurut Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Bea Cukai Syarif Hidayat, HS barang yang terekam dalam sistem kepabean seluruhnya sudah sesuai dengan dokumen PEB.
Ia berdalih, dokumen dengan dugaan pemalsuan HS itu adalah dokumen awal yang perlu pengecekan lebih lanjut.
"Bea Cukai melakukan pengecekan PEB di sistem dan HS-nya sudah benar," ucapnya.
Syarif lalu menyebut dokumen yang telah diverifikasi ini adalah dokumen tertutup yang hanya bisa dibuka bila ada perintah pengadilan.
Ihwal lolosnya barang-barang ekspor tersebut, ia menyatakan, eksportir telah memperoleh surat izin pengecualian dari Kementerian Perdagangan. Hal itu sesuai dengan yang termaktub dalam Pasal 3B Permendag Nomor 34 Tahun 2020.
Pasal itu menunjukkan, Menteri Perdagangan dapat mengecualikan ketentuan yang diatur dalam Permendag. Syaratnya, eksportir harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal perdagangan Luar Negeri Kemendag secara elektronik.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan dua eksportir, yakni PT GI dan PT DD, telah memperoleh izin pengecualian dari Kemendag.
Oke menerangkan bahwa keduanya diperbolehkan ekspor non-woben coverall ke Korea Selatan sesuai dengan Permendag Nomor 34 Tahun 2020 dan mendapat rekomendasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor B-26/KA/PD.01.01/04/2020 perihal Pengecualian Ekspor APD ke Korea Selatan.
Menurut Oke, barang-barang ekspor itu dibarter dengan bahan baku untuk pembuatan APD di dalam negeri. Namun. soal empat perusahaan lainnya Oke belum menjelaskan apakah telah memperoleh izin pengecualian.
Dia menyatakan telah menyerahkan data dugaan pemalsuan kode HS kepada Bea Cukai.
"Koordinasi (Kemendag) dengan Bea Cukai terkait Covid-19 baik," tuturnya.(*)