DEMOKRASI.CO.ID - Nilai tukar rupiah kembali merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdaGangan Senin (23/3/2020), semakin mendekati level terlemah sepanjang sejarah.
Rupiah membuka perdangan dengan melemah 0,31% di Rp 15.950/US$, tetapi berselang satu jam kemudian sudah ambles lagi. Rupiah menyentuh level terlemah intraday 16.620/US$, atau merosot 4,53% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Di penutupan perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan menjadi 4,09% di Rp 16.550/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 17 Juni 1998, kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.800/US$, sekaligus merupakan rekor terlemah sepanjang masa.
Kecuali yen Jepang dan dolar Hong Kong, semua mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS hari ini. Tetapi pelemahan rupiah yang paling parah.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 16:50 WIB.
Tanda-tanda akan kembali terjadi aksi jual di pasar keuangan dalam negeri sudah terlihat sejak dini hari tadi. Indeks saham berjangka (futures) Wall Street langsung ambles 5% menyentuh "batas bawah" atau "limit down" dari 5 menit setelah perdagangan di bulan pukul 5:00 WIB.
Indeks berjangka Wall Street bisa dijadikan indikator sentimen konsumen terhadap aset-aset berisiko. Ketika ambles, itu artinya sentimen sedang memburuk dan berisiko memicu aksi jual di pasar keuangan dalam negeri, baik di bursa saham maupun pasar obligasi.
Aksi jual di pasar keuangan RI semakin menjadi-jadi di bulan ini, setelah pandemi virus corona (COVID-19) masuk ke dalam negeri. Di Indonesia hingga saat ini sudah ada 579 kasus positif, dengan 49 orang meninggal dan 29 orang dilaporkan sembuh.
Sepanjang bulan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol lebih dari 25%, pada pekan lalu saja penurunan tercatat 14,52%, menjadi penurunan terburuk sejak krisis finansial global tahun 2008. Kala itu, pada bulan Oktober 2008, IHSG ambrol lebih dari 20% dalam sepekan. Aksi jual di bursa saham kembali berlanjut pada hari ini, perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan sempat dihentikan sementara selama 30 menit (trading halt) setelah IHSG ambles 5,01%. Ini menjadi kali ke-lima IHSG mengalami trading halt sejak dua pekan lalu.
Berdasarkan data dari RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih secara year-to-date (YTD) hingga hari ini sebesar Rp 10,22 triliun di all market.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun naik 121 basis poin (bps) sepanjang bulan ini hingga Jumat lalu. Kenaikan masih berlanjut hingga siang sebesar 14,6 bps ke 8,245%, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Ketika harga turun, berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 18 Maret, terjadi capital outflow sebesar Rp 86,49 triliun.
Ini berarti sejak awal tahun hingga pekan lalu terjadi capital outflow nyaris Rp 100 triliun, dampaknya nilai tukar rupiah terus tertekan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat yang menyebabkan nilai tukarnya merosot.(cnbc)