DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah Indonesia dinilai lamban dan ragu-ragu di awal penyebaran virus corona baru atau Covid-19. Ada dua alasan yang membuat sikap ragu-ragu itu.
Pertama, karena sungkan dengan Republik Rakyat China (RRC) yang menjadi asal dari penyebaran virus mematikan itu. Kedua, karena menolak kenyataan.
Akibatnya, Indonesia kehilangan waktu berharga selama 2,5 bulan. Sehingga kini tampak tergopoh-gopoh di tengah kordinasi yang sempat mengalami kemacetan.
Demikian penilaian ekonom senior DR. Rizal Ramli mengenai mengomentari langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19.
Penjelasan itu disampaikan Rizal Ramli dalam serangkaian twitnya hari ini (Selasa, 16/3). Berikut kutipannya:
PADA awal Corona, respon Indonesia sangat lambat dan terlambat. Padahal di Wuhan telah terjadi akhir tahun 2019.
Keterlambatan itu terutama karena “sungkan” dan takut menyinggung Tiongkok. Kedua, pejabat-pejabat RI mengambil sikap “self-denial” (menolak kenyataan). Kita kehilangan 2,5 bulan.
Kita kehilangan waktu yang sangat berharga, 2,5 bulan, untuk scanning, monitoring dan testing potensi penularan corona. Itulah yang menyebabkan negara-negara lain seperti Australia, Singapura, dan bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak percaya pada statistik kasus corona di Indonesia.
Respons kebijakan pertama terhadap corona sangat ngawur, yaitu rencana untuk membiayai influencers senilai Rp 72 miliar dan subsidi airline untuk meningkatkan turisme.
Benar-benar ngawur.
Seluruh dunia mau mengurangi kunjungan turis asing, kok Indonesia malah mau meningkatkan jumlah kunjungan. Kualitas orang di sekitar Jokowi payah.
Masih saja mengizinkan pekerja-pekerja Tiongkok untuk masuk Indonesia hanya karena kepentingan bisnis pejabat-cum-penguasa. Sing eling eui, ingat kepentingan nasional!
Norak amat sih.
Sebagai bangsa memang kita terbiasa dan sangat asyik kalau membahas apa yang terjadi hari ini. Tetapi tidak terlatih untuk melihat dan melakukan antisipasi terhadap masa depan. Sehingga sering terlambat jika menghadapi shocks global seperti corona.
Jika tidak ada corona, ekonomi Indonesia memang terus anjlok karena salah kelola, mabok utang dan pengetatan makro. Ekonomi hanya akan tumbuh 4 persen tahun 2020.
Kalau tindakan terhadap corona efektif, ekonomi hanya akan anjlok lagi -1 persen. Tapi jika tidak efektif, ekonomi akan anjlok -2 persen lagi.
Untuk mengurangi dampak corona terhadap ekonomi, ini waktunya untuk menggeser secara radikal dengan melakukan realokasi APBN 2020.
Stop (moratorium) proyek-proyek infrastruktur besar 2020. Harus berani, jangan gengsi. Alokasikan hanya untuk sektor kesehatan, makanan dan daya beli rakyat miskin.
Indonesia saat ini bukan negara kaya, sehingga jangan lakukan “macro pumping” dan jangan ada “buyback” saham-saham BUMN lain-lain. Amerika saja yang negara kaya, melakukan pumping macro ratusan miliar dolar AS lewat FED ternyata tidak efektif. Hanya kurang dua jam index naik, setelah itu langsung anjlok.
Korea Selatan termasuk negara yang paling efektif dalam menangani pandemik corona karena mereka belajar dari kasus SARS, evaluasi apa-apa yang efektif dan siapkan SOP (standard operational procedures).
Ketika serangan corona, sudah ada SOP yang siap-pakai tanpa perlu banyak rapat dan koordinasi.
Gunakan momentum pandemik corona ini, untuk menggenjot produksi dalam negeri, seperti pertanian, buah-buahan dan sayur-sayuran. Bantu kredit, bibit, pupuk sehingga bisa panen setiap tiga bulan.
Ajak IPB untuk membantu peta kecocokan tanah. Jangan bisanya impor impor doang. Payah amat sih.
Nilai tukar rupiah makin anjlok. Sudah Rp15.200 per dolar AS, dan index IHSG sudah anjlok dari 6.000an ke 4.500an.
Jangan biarkan mata uang Rupiah dan Index terombang-ambing dengan shocks dan volatilitas yang sangat besar. Ubah flexible exchange menjadi fixed exchange di 15.500 per dolar AS untuk selama 1 tahun.
Jangan biarkan external dan internal shock dengan volatilitas yang sangat besar merusak ekonomi dan korporasi nasional. Bekukan perdagangan saham sampai waktu yang belum ditentukan. Toh kalau dibuka terus, akan semakin anjlok, dan akan semakin panik.
Ini adalah momentum untuk tukar (swap) utang-utang Indonesia yang yield-nya sangat tinggi (7 sampai 8 persen), karya “Menkeu Terbalik” yang sangat merugikan bangsa kita.
Kerugian karena bond kemahalan itu antara Rp 110 triliun sampai Rp 120 triliun. Padahal yield bond di Jepang, Eropa negatif. Segera negosiasi swap bond untuk menghemat Rp 110 triliun!
Soal penjelasan dan tindakan preventif dan kuratif menghadapi corona, pujian perlu diberikan kepada Gubernur Anies Baswedan. Bravo. Jelas, terukur dan persuasif dibandingkan pejabat-pejabat pemerintah pusat. (rm)