logo
×

Rabu, 18 Maret 2020

Rakyat Keliru Langsung Ditangkap, Penguasa Keliru Tinggal Minta Maaf, Apa Keadilan Masih Ada di Indonesia?

Rakyat Keliru Langsung Ditangkap, Penguasa Keliru Tinggal Minta Maaf, Apa Keadilan Masih Ada di Indonesia?

Kedatangan 49 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina di Sulawesi Tenggara bikin heboh Indonesia. Kehebohan ini berawal dari video yang viral di media sosial. Polda Sultra bertindak cepat. Kapolda Sultra, Brigjen Merdisyam, menyatakan puluhan TKA itu bukan dari China, melainkan dari Jakarta dalam rangka memperpanjang visa.

Merdisyam bahkan menyatakan pihaknya telah melakukan pengecekan langsung dari perusahaan smelter yang ada di Sultra. Berbekal informasi ini Merdisyam mengancam akan memidanakan penyebar hoaks TKA dari Cina itu. Bahkan Hardiono, perekam video itu ditangkap, meskipun kemudian dilepaskan.

Masalahnya, Merdisyam ternyata keliru. Menurut data pihak Imigrasi, rombongan TKA Cina itu ternyata masuk Indonesia dari Thailand. Mereka awalnya terbang dari China ke Thailand, dikarantina, lalu terbang ke Jakarta. Sadar akan kekeliruan itu, Merdisyam lantas mintas maaf kepada publik.

Pertanyaannya, cukupkah permintaan maaf itu? Saya pikir tidak!

Pertama, kejadian ini menunjukan kesewenang-wenangan polisi. Hardiono jelas tidak bersalah, tetapi dia menjadi korban salaah tangkap akibat informasi yang keliru.

Seharusnya pihak Polda Sultra berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, utamanya pihak imigrasi. Bukan malah bertanya kepada perusahan pertambangan yang bersangkutan. Akibatnya, jangan salahkan bila publik menduga Polda Sultra telah menjadi beking dari perusahaaan tambang itu.

Kedua, alasan terburu-buru demi mengendalikan situasi tidak bisa diterima. Polisi itu kan bukan hansip yang boleh grasa-grusu. Polisi mesti melandaskan setiap tindakannya berdasarkan fakta dan data yang bisa dipercaya. Bukan sembarangan “ambil” orang begini!

Bayangkan kerugian immaterial yang diderita oleh Hardiono akibat kesalahan ini. Ingat, di era digital ini, jejak seseorang akan abadi. berita-berita itu akan membuat Hardiono dan keluarganya mesti menanggung malu seumur hidup karena dakwaan menyebar hoaks. Siapa yang harus membayar kerugian immaterial Hardiono ini?

Lagipula apa polisi pikir cuma mereka yang punya niat baik untuk negeri ini. Memangnya Hardiono itu punya niat untuk mengacau? Bagaimana bila niat Hardiono ini mulia?

Bagaimana bila Hardiono hanya bermaksud mengingatkan pemerintah dan publik atas potensi penyebaran virus corona dengan masuknya 49 TKA asal Cina itu? Apalagi belakangan ini keras seruan agar pemerintah menerbitkan larangan tegas agar sementara waktu mencegah orang-orang asing dari kasus yang terdampak virus corona masuk ke Indonesia. Bukankah mestinya kita berterima kasih kepada Hardiono?

Ketiga, kok bisa TKA asal Cina itu masuk Indonesia. Padahal, mereka tidak dikarantina saat tiba di Indonesia. Semestinya, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2020, WN China itu menjalani karantina selama 14 hari terlebih dahulu untuk memastikan mereka tak terinfeksi Covid-19. Kenapa kebijakan ini dilanggar? Siapa yang mesti bertanggungjawab?

Kasus kedatangan 49 TKA asal Cina di Sulawesi Tenggara mesti menjadi pelajaran bagi kita dalam memberi informasi kepada publik. Bahwa bukan cuma publik yang bisa menjadi menyebar hoaks, tetapi aparat negara juga. Masalahnya, di Indoensia belakangan ini, jika rakyat keliru menyampaikan informasi, mereka serta-merta langsung dituding hoaks. dalam banyak kasus, pelakunya akan ditahan.

Tetapi ini terkesan tidak berlaku bagi aparat negara dan penguasa. Jika mereka salah menyampaikan informasi, mereka sekadar dilabeli keliru. Tinggal minta maaf, lalu masalah pun selesai.

Pola ini sejatinya telah menginjak konsitusi kita. bahwa Indonesia adalah negara hukum. bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Sikap tebang pilih, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah telah menunjukan Indonesia telah tergelincir menjadi negara yang mengkhianati asas hukum “equality before the law.”

Lantas, apa yang harus dilakukan sekarang? Saya pikir harus ada sanksi yang dikenakan kepada Kapolda Sultra, Brigjen Merdisyam, sebagai pelajaran bagi aparat negara yang lain. Sanksi juga harus dikenakan kepada perusahaaan tambang yang telah memberikan informasi yang keliru kepada Merdisyam.

Sebaliknya negara harus adil pula kepada Hardiono. Harus ada permintaan maaf secara resmi dari Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz yang menegaskan Hardiono tidak bersalah. bahkan jika mungkin ada reward bagi  Hardiono atas insiatifnya mengangkat persoalan ini ke hadapan publik. Ini penting agar tidak makin membuat kekhawatiran di tingkat publik jika ingin bersuara untuk mengingatkan pemerintah.

Oleh: Rahmat Thayib, penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: