Oleh: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
‘Kok Kebangeten men, samblat belas raono perhatian’. Saduran lirik lagu bahasa jawa ini pantas disematkan pada pemerintah. Kebangetan memang. Petani mengeluh, sedikitpun tak diperhatikan. Impor lagi, impor lagi. Pemerintah akan melakukan percepatan penyediaan bahan pangan seperti bawang putih, gula, dan daging. Hal ini lantaran Jokowi kesal karena banyak proses impor yang terhambat di dalam negeri.
Pemerintah akan menerbitkan izin impor bawang putih hingga 90.000 ton dalam beberapa hari ke depan. Untuk gula kristal, pemerintah sudah mengeluarkan izin impor sebanyak 438.800 ton. Sementara impor daging ditugaskan kepada Perum Bulog agar mengimpor 100.000 ton. Presiden Jokowi meminta pada jajaran menterinya untuk segera mempercepat proses impor yang lama dan berbelit.
‘Jelas kubutuh adilmu, kubutuh empatimu’. Lirik lagu ini mewakili jeritan hati. Di akar rumput, petani banyak mengeluh karena rajinnya impor dari negeri asing. Impor pangan bikin mereka babak belur. Disini mereka sedang menanti keberpihakan pemerintah pada nasib petani. Menunggu kebijakan yang pro petani lokal. Mengharap peran negara dalam swasembada pangan.
Jika impor untuk stok menjelang ramadan, mengapa tak dilakukan jauh hari saat para petani akan memanen hasil tanamnya? Saat mereka panen, produksi pertanian mereka justru tak dilirik. Bahkan dibilang kualitasnya rendah. Pertaanyaannya, mengapa kualitas pertanian rendah dan harga pangan mahal? Karena negara tak berperan. Semestinya jika memang pemerintah serius melakukan swasembada, cobalah beri fasilitas memadai untuk para petani.
Fasilitas yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian. Seperti penyediaan bibit unggul, alat pertanian modern, dan bekali mereka dengan ilmu dan keahlian yang dibutuhkan. Jangan malah dibui saat mereka berinovasi. Seperti yang pernah terjadi pada seorang Kades Aceh Utara gegara berhasil mengembangkan benih padi menjadi bibit unggul. Atau petani gula di Cirebon yang merana lantaran gulanya tak laku di pasaran. Kalah saing dengan gula impor.
Kebijakan impor sejatinya hanya menguntungkan negara eksportir. Kalau impor dilakukan agar stok pangan aman, apakah impor satu-satunya jalan menjaga stabilitas pangan? Kalau benar, betapa pragmatisnya solusi yang diberikan. Tak mau berpikir susah mencari solusi terbaik untuk kemaslahatan semua.
Kalau impor terus menerus menjadi solusi defisit pangan, kapan negeri ini mampu mewujudkan kemandirian pangan? Impor hanya membuat kita bergantung pada negeri orang. Padahal negeri kita kaya dengan lahan pertanian subur. Sekarang, lahan-lahan itu meranggas berubah menjadi tol-tol panjang. Dalam hal infrastruktur, pemerintah boleh berbangga. Namun, dalam hal kepedulian nasib petani, pemerintah belum berbuat apa-apa. Janji tak akan impor di masa kampanye lalu, akhirnya medot (putus) di tengah jalannya dua periode.
‘Mbiyen aku jek betah, suwe suwe wegah. Nuruti kekarepanmu, sansoyo bubrah.’ Dulu kami terpesona dengan janji mereka. Tapi lama-lama bosan juga. Menuruti maunya para kapitalis, negeri ini bisa ambyar. Di satu titik, kami masih berharap pemerintah bisa mengubah pola pikir dan cara pandangnya dalam mengelola negara. Jangan sampai negeri ini terus terpuruk dan tak lagi mampu tegak berdikari. Semoga belum terlambat untuk mentaubati kebijakan yang sudah banyak merugikan rakyat.