DEMOKRASI.CO.ID - Puncak kasus harian virus corona (Covid-19) di Indonesia diprediksi terjadi pada akhir Maret 2020.
Sementara penyebaran virus corona, diprediksi berakhir pada pertengahan April 2020. Atau sebelum masuk bulan Suci Ramadan. 1 Ramadhan 1441 H, diperkirakan jatuh pada Jumat, 24 April 2020.
Hal itu berdasarkan kajian yang dilakukan Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tim peneliti yang melakukan simulasi tersebut adalah Dr Nuning Nuraini SSi MSi, dosen Program Studi Matematika ITB; beserta Kamal Khairudin S dan Dr Mochamad Apri SSi MSi.
Dalam 'Data dan Simulasi Covid-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika', disimpulkan Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian Covid-19 pada akhir Maret 2020 dan berakhir pada pertengahan April 2020, dengan kasus harian baru terbesar berada di angka sekira 600.
"Tentu perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan dengan satu model yang saya rasa 'cukup sederhana' dan sama sekali tidak mengikutkan faktor-faktor yang kompleksitasnya tinggi," ujar Nuning, seperti dikutip dari laman ITB, Kamis (19/3/2020).
Penelitian tersebut dilatarbelakangi kasus Covid-19 di Indonesia yang menjadi bagian dari pandemi global dan telah melahirkan berbagai riuh rendah serta kontroversi, apakah tindakan yang diambil telah cukup untuk menangkal penyebaran lebih lanjut, ataukah terlampau berlebihan.
Kesimpangsiuran informasi tentang hal ini dikhawatirkan mengganggu usaha nyata menanggulangi bencana yang sebenarnya.
"Dalam penelitian ini kami berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang epidemi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia melalui suatu model matematika sederhana," ujar Nuning dikutip dari okezone.com.
Dalam penelitian yang menjadi jurnal ilmiah tersebut, Nuning dengan tim membangun model representasi jumlah kasus Covid-19 menggunakan model Richard's Curve karena sesuai kajian Kelompok Pemodelan 2009 yang dibimbing Profesor Dr Kuntjoro A Sidarto.
Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi dari penyakit SARS di Hong Kong pada 2003.
Model Richard’s Curve terpilih ini lalu mereka uji pada berbagai data kasus Covid-19 terlapor dari berbagai negara, seperti China, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat –termasuk data akumulatif seluruh dunia.
Ternyata secara matematik ditemukan bahwa model Richard's Curve Korea Selatan adalah yang paling cocok (kesalahannya kecil) untuk disandingkan dengan data kasus terlapor Covid-19 di Indonesia jika dibandingkan model yang dibangun dari data negara lain (kesesuaian ini terjadi saat Indonesia masih memiliki 96 kasus).
"Jadi bisa dikatakan jika kita punya penanganan yang mungkin sama, sesuai dengan publikasi yang ada dengan Korea Selatan, tanpa memasukkan faktor kompleksitas lainnya seperti temperatur lingkungan, kelembaban, dan lain-lain. Seharusnya kita bisa mendapat kesimpulan yang sama persis dengan apa yang ditulis pada publikasi kami," tutur peneliti yang juga banyak berperan dalam penanganan kasus demam berdarah di Indonesia ini.
Namun, menurut Nuning, hal tersebut bukan perkara mudah. "Korea Selatan itu kan salah satu dari beberapa negara di dunia yang paling baik penanganan kasus Covid-19-nya. Ini waktu terus berjalan, tentu sulit untuk bisa persis seperti mereka, tetapi setidaknya dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa Indonesia perlu melakukan sesuatu untuk tetap berada dalam tren yang baik," tuturnya.
Karena itu, bagi dia, merujuk pada model yang dibangun, termasuk faktor-faktor yang krusial, perlu dilakukan pencegahan dari meluasnya penyebaran Covid-19.
"Tingkat penyebaran yang tinggi akan memberatkan rumah sakit karena tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung pasien Covid-19 sehingga krusial sekali bagi kita untuk menjaga laju penyebaran tetap ada di dalam kontrol kita (jika belum bsia dihilangkan sepenuhnya)," ucapnya.(ry)