DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo dinilai keliru dalam memahami masyarakat Indonesia. Hal itu tercermin dari alasan Jokowi tidak melakukan lockdown yang seolah menganggap tingkat kedisiplinan rakyat rendah.
Begitu kata Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (25/3).
"Narasi Jokowi itu menyiratkan pesan bahwa rakyat Indonesia tingkat disiplinnya rendah. Kemudian karena tingkat budaya disiplinnya jauh berbeda dengan negara maju, maka dijadikan alasan untuk menolak lockdown,” urainya.
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menilai, jika Presiden Jokowi menganggap tingkat disiplin rakyatnya rendah, maka harus melakukan kebijakan yang tegas dan terarah.
Hal ini perlu dilakukan dalam mengantisipasi sebaran Covid-19. Sebab, kebijakan jaga jarak (social distancing) itu lamban untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, mengingat lalu lintas sosial masih dibolehkan.
“Masyarakat masih boleh hilir mudik berinteraksi antar sesama," jelas Ubedilah.
Justru, sambungnya, masyarakat yang memiliki tingkat disiplin rendah memerlukan kebijakan tegas dan terarah. Presiden seharusnya menggunakan alasan itu untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah.
"Kebijakan tegas dan terarah itu dalam situasi pandemi Covid-19 ini adalah kebijakan lockdown lokal di daerah yang terbanyak terkena wabah atau menurut UU 6/2018 disebut karantina wilayah," pungkas Ubedilah.
Jokowi sebelumya mengatakan bahwa setiap negara memiliki karakter, budaya, dan tingkat kedisiplinan yang berbeda-beda. Dengan pertimbangan itu, dalam menghadapi Covid-19 Indonesia tidak memiliki jalan lockdown.
“Di negara kita, yang paling tepat physical distancing atau meminta setiap warga menjaga jarak aman,” tuturnya.(rmol)