DEMOKRASI.CO.ID - Desakan kepada Presiden Joko Widodo sering dikumandangkan oleh para ahli medis, ilmuan, ekonom dan para analis politik agar segera dilakukan lockdown wilayah DKI Jakarta untuk menghentikan penyebaran pandemik virus corona baru atau Covid-19.
Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta para gurubesar fakultas kedokteran berbagai universitas pun juga telah mengumandangkan hal yang sama. Yakni segera dilakukan lockdown di zona merah seperti DKI Jakarta.
"Tetapi sampai saat ini masih bergeming. Kunci lockdown lokal itu ada di kepala daerah dan presiden,” tutur Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels) Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (27/3).
Menurut UU 6/2018, kata Ubedilah, lockdown lokal atau karantina wilayah bisa dilakukan ketika wabah meluas. Prosedurnya kepala daerah mengajukan izin kepada satgas, kemenkes, dan presiden.
“Gubernur DKI Jakarta sempat mau lockdown Jakarta tetapi diingatkan Mendagri bahwa lockdown itu wewenang pusat, wewenang presiden," sambungnya.
Ubedilah melanjutkan, alasan Presiden Jokowi tidak setuju dilakukan lockdown wilayah dikarenakan takut karena ekonomi sedang memburuk.
"Alasan ini keliru, justru dengan tidak lockdown akibatnya tidak ada kepastian ekonomi. Kondisi ekonomi makin kacau," tegas Ubedilah.
Analis sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini pun mengaku telah melakukan perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan lockdown Jakarta serta sumber uang tersebut. Menurut Ubedilah, biaya yang dibutuhkan untuk lockdown Jakarta ialah senilai Rp 12,4 triliun.
"Itungan saya untuk lockdown Jakarta hanya butuh sekitar Rp 12,4 triliun. Uang 12,4 triliun rupiah Itu untuk 9,6 juta penduduk Jakarta selama 14 hari. Tetapi jika hanya untuk penduduk miskin Jakarta yang jumlahnya sekitar 300 ribu penduduk berarti akan lebih kecil jumlah uang yang dibutuhkan," beber Ubedilah.
Ubedilah melanjutkan, uang Rp 12,4 triliun tersebut untuk membiayai makan, kebutuhan listrik, air, alat medis dan petugas medis selama 14 hari masa lockdown.
"Untuk apa saja Rp 12,4 triliun itu rinciannya? Untuk makan sekitar Rp 6,7 triliun. Asumsinya per hari satu orang Rp 50 ribu dikali 9,6 juta penduduk. Kemudian untuk kebutuhan listrik sekitar Rp 600 miliar. Untuk kebutuhan air sekitar Rp 100 miliar. Untuk kebutuhan alat medis dan petugas medis selama 14 hari sekitar Rp 5 triliun," terangnya.
Selanjutnya, Ubedilah pun juga menjelaskan sumber uang yang dapat digunakan pemerintah untuk biaya lockdown Jakarta.
"Pertanyaannya kemudian dari mana uang Rp 12,4 triliun itu? Jelas dari pajak, ambil di APBN dan APBD melalui realokasi anggaran. Perlu rakyat diketahui perolehan pajak sampai dengan November 2019 mencapai Rp 1.312,4 triliun. Jadi Rp 12,4 triliun itu angka yang kecil dibanding perolehan pajak nasional," jelasnya.
Ubedilah pun kembali menghitung apakah DKI siap untuk menggelontorkan uang dari APBD untuk biaya lockdown di Jakarta.
Dari hitungan Ubedilah, total APBD DKI saat ini sebesar Rp 87,95 triliun. Sehingga, realokasi bisa dilakukan dengan memangkas biaya perjalanan dinas, konsinyering, renovasi bangunan yang memakan sekitar 10 persen dari APBD. Sehingga, DKI Jakarta bisa menggelontorkan sekitar Rp 8,7 triliun.
Sehingga menurut Ubedilah, dana yang diambil tersebut tidak akan terlalu membebankan APBN dan APBD DKI Jakarta.
"Jadi tidak terlalu mengganggu APBN dan APBD DKI Jakarta. Jika DKI Jakarta siap Rp 8,7 triliun, pemerintah pusat tinggal nambahin Rp 3,7 triliun. Sehingga cukup memenuhi Rp 12,4 triliun untuk kebutuhan lockdown Jakarta selama 14 hari," tuturnya.
Dengan demikian sambung Ubedilah, skema anggaran tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah agar kepastian ekonomi Indonesia lebih jelas dibanding langkah yang saat ini yang dinilai tidak memberikan kepastian pagebluk Covid-19 di Indonesia.
"Jika nasehat para ilmuwan, para ahli medis, dan diingatkan kalkulasi ekonominya dengan jelas tetapi tidak didengar juga, maka hanya ada satu kesimpulan bahwa presiden bekerja mengabaikan pendekatan ilmu pengetahuan. Mengabaikan prinsip knowledge to policy,” pungkas Ubedilah.(rmol)