DEMOKRASI.CO.ID - Pesan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (4/3) lalu agar ketersediaan dan kecukupan bahan pokok menjelang bulan puasa dan lebaran nampaknya kurang jelas dipahami oleh menteri-menterinya.
Tinggal 50 hari bulan puasa, namun stok bawang putih dan buah impor di pasaran mulai mengkhawatirkan.
Kelambanan pemberian Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RPIH) dari Kementerian Pertanian (Kementan) dinilai sebagai ketidaksensitifan terhadap kepentingan warga dan berkesan adanya nuansa ‘pilih—pilih tebu’ untuk kepentingan kuat partai politik.
“Kami mengeluhnya dari kemarin. Kenapa Menteri baru seperti ini kerjanya? Pada akhirnya orang duga ke sana (adanya kepentingan parpol-red). Menteri ini kan orang partai,” kata Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional, Anton Muslim Arbi, kepada wartawan, Jumat (6/3) sore.
Kelambanan proses perijinan ini, menurut Anton membuat stok bawang putih menipis dan harga akan naik. Proses perijinan dan berlarut-larut, justru membuat Anton curiga ada unsur politis di belakangnya.
Ia mengaku sudah pernah menegaskan agar orang partai tidak ditempatkan pada pos menteri strategis.
Anton berpendapat, urusan ijin bukan hal baru. Sedangkan dunia usaha perlu kepastian.
“Birokrasi kok seperti ini? Kalau semua sudah oke, diproses dong supaya cepat ijin keluar,” keluhnya lagi.
Keluhan sama disuarakan Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo).
Perkumpulan meminta pemerintah agar segera menerbitkan Surat Perizinan Impor (SPI) dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) baru agar proses dan waktu barang tiba di Indonesia bisa lebih cepat.
Dari banyak anggota Perkumpulan yang mengajukan RIPH dan SPI, hanya 1 yang peroleh izin impor hingga kini.
Padahal seharusnya, RIPH dari Kementerian Pertanian bisa lebih cepat lagi keluar. Terutama untuk perusahaan-perusahaan yang proses administrasinya sudah clean and clear, serta rekam jejaknya jelas.
“Dari SPI yang terbit 26 Feb lalu sebanyak 25.800 Ton, hanya 1 (satu) anggota Anggota PUSBARINDO yang memperoleh SPI yaitu hanya 800 Ton, kurang lebih 3% saja,” keluh Valentino selaku ketua II, Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo), di Jakarta, kemarin.
Jumlah itu, lanjut Valentino, sangat tidak cukup. Karena menurut perhitungannya, kebutuhan nasional per bulan sekitar 47 ribu ton, lalu ada beberapa potensi kenaikan saat puasa dan menjelang lebaran. “Kira-kira kebutuhan sampai dengan Mei (lebaran) nanti adalah 160ribu ton. Ada kekurangan stok 100 ribu ton,” katanya lagi.
Sementara, menurut pengamat ekonomi dari Unika Atma Jaya, Rosdiana Sijabat, Ph.D, pemerintah harusnya lebih tanggap dengan urusan bahan pokok menjelang puasa dan lebaran ini. “Ini bukan masalah yang sifatnya musiman (seasonal). Kita tahu selama ini suplai bawang putih dalam negeri hanya 5-10 persen kebutuhan domestik,” kata Rosdiana kepada wartawan, Jumat (6/3).
Ia pun menyesalkan proses yang bertele-tele antara Kementerian Pertanian (Kementan) dalam mengeluarkan RIPH, agar di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dapat lebih cepat menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) ke perusahan terpilih untuk melakukan impor.
“Proses itu perlu dipercepat. Keterlambatan sedikit saja membuat harga pada tingkat importir, distributor dan pedagang kecil hingga sampai ke masyarakat itu naik tajam,” pungkasnya.
Sebaliknya, Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto mengakui bahwa pihaknya memang tidak langsung menerbitkan SPI bawang putih seluruhnya. Mendag Agus mengungkapkan bahwa kehati-hatian itu ia lakukan karena ada beberapa perusahaan baru yang ikut dalam proses impor bawang putih ini. Hal ini berbeda jika importir tersebut merupakan perusahaan lama yang selalu ikut dalam proses impor bawang putih ini dengan rekam jejak untuk melakukan impor.
“Kita cek lagi terutama kalau perusahaan baru kita harus cek. Jadi kalau yang sudah pernah itu kan ada referensi, kita lihat juga performa-nya. Jadi kemarin sebagian kita terbitkan tapi tetap kita akan cek dulu sampai lengkap terutama perusahaan yang baru,” jelasnya.