OLEH: SALAMUDDIN DAENG
MASALAH yang dihadapi keuangan pemerintah saat ini bukan merupakan dampak dari situasi sekarang semata, namun dampak akumulasi selama lima tahun terakhir.
Tata kelola keuangan yang buruk, utang tanpa perhitungan, dan penggunaan dana publik secara sembarangan dalam proyek-proyek pemerintah. Sementara pendapatan negara merosot.
Apa pemicunya merosotnya pendapatan negara? Paling besar faktor harga minyak mentah yang rendah selama lima tahun terakhir. Harga minyak yang rendah mengakibatkan pendapatan negara baik Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang jatuh, dan penerimaan negara dari pajak sektor migas juga jatuh.
Pendapatan negara dari pajak migas jatuh dikarenakan juga investasi yang sektor migas akan melemah. Tidak ada lagi investor yang tertarik masuk ke dalam sektor hulu migas. Akibatnya pendapatan pajak juga menjadi sangat minim. Secara bersamaan PNBP migas dan pajak migas berkurang secara bersamaan.
Memang tahun 2018 kejatuhan harga minyak, masih tertolong oleh harga batubara yang masih bagus. Sehingga pendapatan negara masih ada dari sektor batubara. Sebagaima tahun 2018 keduanya masih mengkontribusikan PNBP mencapai Rp 400-an triliun. Namun tahun 2019 dan saat ini kedua komoditi andalan yang menopang pendapatan negara ini ambruk. Maka dampaknya PNBP dan pajak sektor migas dan batubara akan ambruk secara bersamaan.
Celakanya lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin melemah akibat dari penurunan harga komoditas minyak, gas, batubara, sawit, dan lain sebagainya. Sehingga pendapatan negara dari PNBP dan pajak secara otomatis akan berkurang secara drastis.
Pelemahan pertumbuhan ekonomi kian diperparah oleh pelemahan pasar ekspor. Lagi-lagi ekspor komoditas kehilangan pasarnya yakni Tiongkok sebagai pasar utama dan negara negara sekitarnya. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ini akan memukul penerimaan pajak pemerintah.
Keadaan semakin berat karena analisis dan cara pandang pemerintah terhadap keadaan yang terjadi keliru. Roadmap pemerintah salah dalam memetakan kondisi ekonomi global, kecenderungannya, dan pembacaan ekonomi nasional dan kecenderungannya. Semua peta di atas meja pemerintah Jokowo keliru, sehingga respons terhadap keadaan menjadi salah dan fatal.
Tindakan paling gegabah adalah mengggunakan dana publik untuk menopang APBN, seperti dana perbankan terutama bank BUMN, dana perusahaan asuransi, dana Jamsostek, dana Asabri, dana Taspen dan dana pensiun karyawan BUMN.
Penggunaan dana-dana publik tersebut dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek jangka panjang seperti infrastruktur. Sehingga sekarang mewariskan beban kewajiban yang sangat besar bagi keuangan pemerintah.
Ditambah lagi semu investasi yang digalakkan pemerintah seperti property dan infrastruktur itu adalah bisnis yang tidak menghasilkan devisa bagi negara. Sehingga hal ini tidak dapat menolong kewajiban negara dalam utang valuta asing yang sudah sangat besar.
Pendapatan negara dari pajak sektor infrastruktur maupun property juga kecil. Jadi sama sekali tidak menolong kondisi membesarnya kewajiban utang pemerintah.
Jika pelemahan harga minyak yang saat ini berada pada harga 31 dolar AS perbarel dan harga batubara yang berada di 45 dolar AS perton ini terus berlanjut maka hampir dipastikan Jokowi tidak mungkin dapat melanjutkan APBN 2020.
Hal yang lebih mengkuatirkan adalah bagaimana cara pemerintah membayar dana publik, seperti dana bank, dana Jamsostek, dana haji, dana Asabri, dana pensiun, dana Taspen, dana seluruh perusahaan asuransi yang saat ini dibenamkan dalam surat utang negara? Wallahualam.
(Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).