DEMOKRASI.CO.ID - Jika vaksin Covid-19 ditemukan, peneliti memiliki kekhawatiran baru, yakni terjadinya ketimpangan imunisasi antara kaum kaya dan miskin. Hal tersebut disampaikan pakar epidemologo, Seth Berkley, CEO Vaccine Alliance (Gavi). Hal senada juga diungkapkan pakar genetika molekular, Kate Broderick.
Diberitakan BBC Indonesia, Kate Broderick merupakan salah satu peneliti di balik 44 proyek yang berusaha mengembangkan vaksin Covid-19.
Broderick merupakan anggota tim ilmuwan di Inovio, perusahaan bioteknologi berbasis di Amerika Serikat. Mereka memiliki target memproduksi satu juta dosis vaksin awal Desember mendatang.
Pertanyaan pun muncul, siapa yang akan mendapatkan vaksin tersebut? Dan di mana saja vaksin itu akan disebarkan?
Broderick pun mengungkapkan kegelisahannya kepada BBC, "Saudara saya bergelut setiap hari untuk menolong orang-orang yang terjangkit penyakit ini. Jadi betul, saya mencemaskan ketersediaan vaksin ini untuk setiap orang."
Seth Berkley khawatir tentang potensi 'ketimpangan imunisasi'. Menurutnya, vaksin sebagai solusi yang ditawarkan Inovio dikhawatirkan akan dikuasai negara-negara kaya.
Organisasi yang dipimpin Berkley adalah sebuah kemitraan bidang kesehatan global antara organisasi publik dan swasta yang bermisi meningkatkan akses imunisasi di 73 negara termiskin di dunia.
Salah satu anggota kemitraan tersebut adalah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kita harus membicarakannya sekarang, walau belum ada vaksin Covid-19 yang tersedia," ujar Berkley kepada BBC.
"Tantangannya adalah memastikan ada cukup vaksin bagi orang-orang yang membutuhkannya, baik di negara kaya maupun miskin."
"Tentu saja saya cemas. Perbuatan negatif kerap muncul terhadap komoditas yang jumlahnya terbatas. Kita harus mengambil strategi yang tepat," kata Berkley.
Ketakutan Berkley bukan tanpa alasan. Ketimpangan terjadi dalam penyebaran sejumlah vaksin penyakit sebelumnya.
Ketimpangan dalam Hepatitis B
Salah satu contoh nyata ketimpangan imunisasi terjadi dalam vaksin Hepatitis B, sebuah virus yang bertanggung jawab menyebabkan kanker hati, yang menurut WHO, daya infeksinya 50 kali lebih tinggi ketimbang HIV.
Pada 2015, diperkirakan 257 juta orang di seluruh dunia mengidap Hepatitis B.
Imunisasi untuk menangkal penyakit mulai tersedia di negara-negara maju tahun 1982. Namun pada tahun 2000, kurang dari 10% negara termiskin di dunia memiliki akses terhadap vaksin.
Ketimpangan tersebut secara signifikan berhasil dikurangi oleh Gavi yang didirikan Bill dan Melinda Gates pada tahun 2000.
Upaya mengurangi ketimpangan tersebut digenjot melalui kesepakatan antara pemerintah berbagai negara dan perusahaan farmasi.
Akses dua tingkat
Bagaimanapun, realitas menunjukkan bahwa hingga kini masih terdapat dua tingkat akses.
Salah satu contohnya adalah Gardasil, vaksin yang diciptakan tahun 2007 oleh laboratorium berbasis di AS, Merck, untuk menanggulangi Human Papilloma Virus (HPV).
Pemerintah AS menyatakan vaksin itu resmi bisa digunakan pada tahun 2014.
HPV adalah penyebab utama kanker serviks di seluruh dunia. Namun vaksin itu hingga 2019 hanya tersedia untuk 13 negara dengan perekonomian rendah.
Apa penyebabnya? Kekurangan di tingkat global yang disebabkan lonjakan permintaan.
Hal itu terjadi meski 85% kematian di seluruh dunia akibat kanker serviks terjadi di negara berkembang.(*)