OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
PAGI ini sebelum berangkat ke Realita TV, atau Sarita News, di Jakbar, di mana saya dipanel dengan dokter ahli paru, dr. Paris, terkait isu pandemik coronavirus, saya membaca berita South China Morning Post berjudul "Coronavirus: poor Indonesian families most at risk of sudden spike in infections".
Artinya orang-orang miskin berada paling beresiko saat infeksi datang dengan lonjakan mendadak.
Dalan diskusi di Realita TV, yang akan di upload di YouTube video nanti, diskusi dengan dokter Paris terungkap bahwa dokter dan perawat sudah mulai ada yang korban (suspect). Suasana hari ini rumah sakit sudah kewalahan. Saya sendiri tadi sudah bertanya kepada dr. Erlina, RS Persahabatan, via WA, tentang kenapa mereka menolak memeriksa 30 wartawan istana kemarin. Jawaban dia juga: kewalahan.
Saya sudah membuat tulisan "lockdown" dua hari lalu dan tulisan "Coronavirus dan Nasib Negara Kita". Dalam tulisan itu saya sudah mengelaborasi pikiran pakar-pakar internasional yang menganalisa sifat eksponensial korban coronavirus ini.
Karena background saya yang kuat pada matematika, saya mampu membaca apa yang diuraikan Britta Jewell dan Nick Jewell, serta Tomas Pueyo, misalnya. Jika WHO sudah mengatakan pandemik dan para pakar epidemiologi statistik membuat proyeksi, tentu kita bisa membaca berlipatgandanya keburukan keadaan ke depan.
Dokter Paris, tadi mengkonfirmasi pikiran saya. Menurutnya situasi akan buruk sekali ke depan tanpa "Lockdown". Uraian dia tentang kemampuan test, lamanya hasil test (5 hari), keterbatasan perawat dengan spesifikasi kasus infeksi, dokter dan perawat yang sudah mulai terserang covid-19, jumlah rumah sakit terbatas dan hanya berorientasi kasus di pulau Jawa, dll, menunjukkan kalangan medis juga sudah pesimis. Menurut dia, satu-satunya jalan, adalah memutus transmisi virus, melalui "social distancing", atau secara tegas "lockdown".
Rahma Sarita tadi menanya pada saya, apakah benar motif saya mau menjatuhkan Jokowi dengan usulan Lockdown? Rahma merujuk pada pendukung-pendukung Jokowi yang menuduh anti Jokowi yang memanfaatkan isu coronavirus ini untuk kudeta atau setidaknya mempolitisasi.
Sesungguhnya isu coronavirus ini bukan lagi isu pertentangan Jokowi vs Oposisi. Isu pandemik adalah isu semua pihak. Virus Corona itu tidak mengenal Jokower atau kadrun. Virus ini akan menghampiri siapapun kita. Karena kita berinteraksi secara acak dengan manusia-manusia lain di dalam urusan sosial. Saya misalnya, beberapa hari lalu, di panel dengan Deputi 2 Kantor Staf Presiden, yang mana saat itu istana ditulari virus oleh Menhub Budi Karya.
Sebelumnya saya tukar pikiran dengan kawan lama, Ali Mocthar Ngabalin, yang juga orang istana. Lebih dekat lagi, 3 hari lalu, saya dipanel diskusi dengan Boni Hargens, seorang pemuja Jokowi, di sebuah stasiun TV. Dia tentunya juga sering ke istana.
Kemungkinan virus itu sangat dekat potensinya datang ke saya. Apalagi sebelumnya saya suka nongkrong di Paloma, Menteng, tempat pertama sekali coronavirus ada tercatat. Dan saya juga sering ke RS Mitra, tempat pasien pertama Coronavirus dirawat.
Jadi, meskipun saya anti Jokowi, urusan Corona Virus bukanlah front pertentangan. Urusan ini adalah urusan besar, urusan negara. Hanya kebersamaan yang mungkin membuat kita bisa mengatasinya. Kebersamaan harus dilihat dalam spektrum luas, baik saran, kritik, maupun kecaman.
Orang-orang Miskin
Karena riset saya soal buruh, baik untuk master maupun doktor, kepala saya langsung terhubung pada buruh, segera saya membaca berita South China Morning Post itu. Imaginasi saya langsung ke perkampungan Warakas di daerah Tanjung Priok, yang tempo hari saya bela (dalam tulisan) ketika mereka bersitegang dengan Menteri Yasonna Laoly.
(Penulis adalah Ketua Dewan Syuro Serikat Buruh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 98)