DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat Politik dan Tata Negara Anwar Saragih menyebutkan ada kesesatan dalam berpikir ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan perkara No 317-PKE-DKPP/X/2019 terkait pemberhentian Anggota KPU Evi Novida Ginting. Sebab, KPU RI sesungguhnya hanya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2009.
Putusan DKPP tersebut dianggap telah membuat kegamangan bagi KPU seolah berada di persimpangan kala akan memutuskan sengketa pemilu calon legislatif Partai Gerindra untuk DPRD Provinsi di Kalimantan Barat tersebut.
Satu arah dari MK yang memutuskan mengoreksi perolehan suara Hendri Makaluasc, tanpa perintah koreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon.
Satu arah lainnya dari putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memerintahkan KPU untuk mengoreksi perolehan suara keduanya yaitu Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon.
“KPU kemudian memilih menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 154-02-20/PHPU. DPR-DPRD/XVII/2009 apa adanya. Tapi anehnya, sikap KPU justru dinilai salah oleh DKPP,” ujar pria lulusan Magister (S2) Ilmu Politik dari Universitas Diponegoro (Undip) itu seperti dikutip dari Kantor Berita RMOl Sumut.
Anwar mengatakan, sikap KPU yang tegak lurus dengan komitmennya memilih menjalankan putusan MK adalah langkah yang tepat dan bentuk dari pelaksanaan undang-undang yang menyebutkan putusan MK sifatnya final dan mengikat (final and binding).
Artinya KPU berkewajiban hanya memeriksa perolehan suara Caleg Gerindra Hendri Makaluasc yang sebelumnya adalah 2.492 suara menjadi 2.551 suara.
Tidak ada kewenangan KPU untuk kemudian mengoreksi perolehan suara Caleg Gerindra lainnya atas nama Cok Hendri Ramapon. Sebab Putusan MK No 154-02-20/PHPU. DPR-DPRD/XVII/2009 tidak memerintahkan hal tersebut.
Sesat pikir kedua menurut Anwar adalah pihak pengadu yaitu Caleg Gerindra Hendri Makaluasc telah mencabut pengaduannya secara langsung di depan Majelis DKPP.
Artinya pengadu (Hendri Makaluasc) telah menerima seluruh putusan yang membuat secara otomatis tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas keputusan KPU.
Sampai disini, tentu saja DKPP sudah tidak memiliki tugas dan kewenangan lagi dalam pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Rujukannya adalah pasal 159 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dimana ayat 1 mengatakan DKPP bertugas ; Menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
“Dengan kata kunci ‘aduan’ tentu melibatkan pengadu dan teradu. Pengadu dalam hal ini Hendri Makaluasc telah mencabut segala aduannya. Namun, DKPP tetap ngotot meneruskan sidang pelanggaran etik. Justru pada konteks ini DKPP sendiri telah melanggar standar etik yang ditetapkan oleh undang-undang Pemilu,” ujar pria yang semasa kuliah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu.
Kesesatan berpikir DKPP ini justru telah mencederai prinsip keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam demokrasi Indonesia.
Alasannya, disamping keputusan yang memberhentikan Evi Novida inkonstitusional karena hanya diputuskan oleh 4 (empat) dari 7 (tujuh) anggota DKPP.
Lebih lanjut, DKPP juga telah melanggar etik, karena mengabaikan secara sengaja Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan pleno pengambilan keputusan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP yang membuat seluruh keputusan yang diambil adalah kesesatan berpikir.
“Pertanyaannya, bagaimana bisa lembaga yang harusnya bertugas mengadili pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu justru melanggar etika dalam pengambilan keputusan kolektif kolegial di DKPP ?” kata Anwar yang saat ini menjabat sebagai Dewan Pakar Ikatan Sarjana Republik Indonesia (ISRI) Wilayah Sumatera Utara.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang muncul dalam urgensi penyelenggaraan pemilu di Indonesia bahwa lembaga etiknya tidak memilih menggunakan prinsip netral dan pasif dalam mengambil keputusan. DKPP justru terlalu aktif bereaksi dalam proses pleno yang pengadunya sudah mencabut aduannya.
Menurut Anwar, pada konteks langkah Evi Novida Ginting yang berencana menggugat putusan DKPP tersebut ke pengadilan, sangat memiliki argumentasi kuat dengan dasar menjalankan putusan MK dan kecacatan putusan DKPP.
“Mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer : ‘Dengan melawan kita tidak sepenuhnya kalah’.” ujarnya.