Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam/ Dosen dan Pengamat Politik
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengungkap ada tiga dosa dalam dunia pendidikan Indonesia yang perlu segera ditangani. Dosa-dosa yang dimaksud Nadiem adalah kesalahan yang berulang kali terjadi dalam sistem pendidikan. Menurutnya, butuh pembenahan sistem untuk menghapus dosa-dosa tersebut. Dosa intoleransi, dosa kekerasan seksual, dan dosa bullying (perisakan) adalah tiga dosa yang tidak bisa diterima sama sekali dalam pendidikan. Nadiem mengakui sudah banyak aturan yang dikeluarkan merespons kejadian-kejadian itu. Namun ia merasa peraturan yang ada tidak dijalankan secara efektif sehingga belum menuai hasil maksimal.
Ia juga menyatakan tidak bisa menghapus tiga dosa itu sendirian karena wewenang Mendikbud terbatas. Dia berharap ada kekompakan antarlembaga negara dalam mengatasi tiga masalah tersebut. Nadiem berjanji bakal mencari cara untuk menyetop agar ketiga dosa tadi tidak terulang lagi. Namun ia meminta waktu untuk bisa melakukannya. Nadiem juga menyampaikan bahwa pendidikan bukan hanya melulu fukos penguatan karakter, dan melatih namun juga harus bisa memberikan tindakan yang tegas pada setiap jenjang terhadap ketiga dosa tersebut.(cnnindonesia.com.Jum’at21/02/2020)
Pendidikan memang akan selalu menyajikan wacana yang kontiniyu dan tidak akan pernah habis. Sebab dalam dunia pendidikanlah proses pembentukan warna generasi di masa kini, dan masa depan. Kondisi sosial yang ada juga tidak lepas dari pengaruh dunia pendidikan yang sedang berjalan. Oleh karena itu, pendidikan juga termasuk kolom seksi perbincangan kalangan intelektual dan politisi.
Sebagai menteri yang dimandati mengurus pendidikan, tentunya Nadiem terus berusaha memberikan ide-ide yang menurutnya akan mampu menerobos dunia pendidikan dan memberikan pengaruh yang signifikan. Meskipun tidak jarang, ide-ide yang telah ia keluarkan jika dianalisis dari akar permasalahan pendidikan, tidak menyentuh. Lalu bagaimana akan solutif? Oleh karena itu melihat pernyataan Nadiem di atas, terdapat beberapa poin yang layak dikritisi.
Pertama, fokus berbincang persoalan tiga dosa pendidikan yang disampaikan oleh Nadiem, adalah fakta terkini yang tidak bisa dipungkiri. Dunia pendidikan di Indonesia sedang kembali dirundung musibah degan kelakuan-kelakuan buruk terhadap sesama teman sekolah. Bullying, kini menjadi sorotan masyarakat dan media yang pada dua pekan terkahir telah mengisi catatan berita lokal dan nasional, bahkan internasional. Korban mengalami trauma, juga kekerasan fisik hingga harus menjalani penanganan medis. Seperti salah satu korban siswa yang tangannya harus diamputasi akibat bully. Atau menderita trauma akibat ejekan-ejekan bahkan sampai ditendang dan dipukul meski tidak memberikan bekas pada tubuhnya. Namun pasti si korban akan mengingat seumur hidupnya.
Bully bukanlah hal baru sebenarnya. Sejak dulu, kasus bully sudah ada. Di era tahun 90-an pun perlakukan bully di sekolah sudah terjadi. Penyebabnya tidak masuk akal. Hanya karena ada salah satu teman di kelas atau sekolah yang punya perbedaan mencolok dari segi fisik, misalnya bentuk tubuh yang lebih besar dari mayoritas siswa lain, atau lebih kecil. Warna kulit yang berbeda misalnya terlalu gelap dibandingkan mayoritas teman yang lain. Wajah yang menurut manusia aneh disebabkan adanya penyakit syndrome pada korban, juga tidak lepas dari bully-an. Pelaku bully seolah-olah tidak menerima perbedaan itu dan merasa tidak sepadan dengan korban bully.
Kedua, apalagi bicara kolom free sex. Kasus yang satu ini sudah seperti air bah yang tidak dapat dibendung dikalangan pelajar. Mulai dari SD-PT. Bahkan pelaku free sex mayoritas di negeri ini adalah usia sekolah. Pelajar yang memang tidak dibentengi dengan pemahaman Islam yang kuat, akhirnya berfikir dan bertindak liberal. Adakah sekolah negeri di Indonesia yang semua jajaran instansi sekolahnya serentak melarang siswanya pacaran? Oh tentu tidak. Karena pola pikir sekuler telah meracuni isi kepala kaum muslimin khususnya kalangan pendidik dan siswa. Urusan sex adalah privacy yang tidak boleh dicampuri cara menyalurkannya, baik halal maupun haram. Padahal, hanya Islam yang memberikan aturan yang rinci dan tegas bagaimana menyalurkan naluri seksual sesuai dengan fitrah kesucian manusia. Mirisnya lagi, kini kasus seksual tidak hanya dengan teman sebaya atau orang jauh, malah incest. Seperti Peristiwa baru-baru ini di Sumbar. Kakak-adik berusia remaja (14-17 tahun) yang berhubungan seksual hingga menghasilkan seorang bayi lalu dibuang ke tong sampah. Atau kejadian seorang ayah yang tega menyetubuhi anak-anak gadisnya yang masih pelajar SMP dan SMA hingga semua tewas berikut bayi-bayi hasil perilaku bejatnya juga dibunuh. Bukankah semua kasus yang kini tengah terjadi sangat menyahat hati dan tidak bisa dibiarkan? Pak Nadiem juga pasti prihatin dan sedih tentunya sebagai manusia terlebih dia juga seorang muslim. Naluri tadayyun nya pasti muncul saat mengetahui semua itu.
Ketiga, bicara kasus intoleransi, seperti apa kasus yang dimaksud Pak Menteri? Apakah terkait agama? Sudahlah. Kasus pelecehan agama itu terhadap agama lain selain Islam sangatlah minim, bahkan hampir mendekati nol. Anak-anak sekolah juga sekarang sudah jauh dari agama karena arus westernisasi yang tidak ada filter dan bentengnya. Boro-boro mau diskusi soal agama, anak SMA saja banyak yang tidak hapal sekedar rukun iman dan rukun Islam. Ditambah rasa takut pelajar mendekati ajaran agama mereka khususnya siswa muslim yang sudah di garis merah sebagai radikal jika taat beragama. Jadilah pelajar korban liberalisme. Jadi, focus Pak Nadiem tidak usah ke intoleransi soal agama. tetapi intoleransi soal qadha Allah. Intoleransi dan bully dua hal yang senada masalahnya yaitu persoalan fisik dan materi. So, focus saja disana. Sehingga terlihat masalah sebenarnya ada pada bully dan free sex akibat mengadopsi pemikiran liberal dan menjauhkan pelajar dari agama.
Setiap usaha seseorang untuk berbuat kebaikan tentulah layak diapresiasi. Tetapi harapan dalam menyelesaikan setiap persoalan harusnya tuntas, bukan sekedar solusi tambal sulam yang justru malah menambah masalah baru. Satu masalah tidak tuntas diatasi, muncul masalah baru akibat solusi yang salah.
Nadiem tidak perlu merasa harus jadi penebus dosa-dosa pendidikan yang ia tidak perbuat sebelumnya seperti yang ia sampaikan. Karena ia sendiri juga belum tahu bagaimana cara menyelesaikannya dengan tuntas. Lalu, untuk apa dijanjikan menebus? Pastinya Nadiem akan menemui kebuntuan menyelesikannya dengan sistem yang diterapkan sekarang. Sanksi tegas yang akan diberlakukan misalnya,akan berbeturan dengan HAM dan hukum-hukum yang tidak menyentuh usia sekolah. Ujung- ujungnya, pelaku bebas, korban terus berjatuhan, masalah tak kunjung tuntas. Istilah menebus juga tidaklah tepat disampaikan oleh seorang muslim. Harusnya Pak Nadiem memahami sebagai seorang muslim, tidak ada istilah penebus dosa dalam perspektif aqidah Islam. Setiap pelaku dosa akan membawa dosanya masing-masing. Tidak akan ada yang bisa menebus dosa seseorang jika bukan ia yang melakukannya. Pak Menteri cukup memberikan solusi yang mengakar dan menyentuh seluruh permasalahan agar dunia pendidikan bisa bangkit dan melahirkan generasi-generasi unggul yang bertaqwa dan berilmu pengetahuan.
Pak Nadiem harus menerima, bahwa tidak ada solusi yang bisa menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan kecuali mengganti sistem pendidikan sekuler hari ini dengan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. pendidikan sekuler telah gagal melahirkan generasi bertaqwa karena menjauhkan mereka dari keimanan yang kokoh dan ketaatan. Padahal agamalah yang menjadi benteng terkuat bagi seorang muslim. Ditambah pendidikan hari ini ditunggangi kapitalisme yang mengajari pelajar harus terus sekolah agar kelak bisa bekerja dan mengejar materi sebanyak-banyaknya. Sangat berbeda dalam sistem pendidikan Islam, yang memahamkan pelajar tentang menuntut dan memiliki ilmu adalah fardh, baik fardh ‘ain maupun fardh kifayahnya. Sehingga menuntut ilmu adalah semata-mata mengharap ridho Allah karena menjalankan kewajiba agama.
Soal penyalaruan profesi dan keilmuan generasi, adalah urusan dan tanggung jawab Negara. Negara tidak boleh lepas tangan dalam memenuhi penyaluran ilmu dan pengetahuan yang dimilik generasi agar sampai ketengah-tengah masyarakat dan memberikan maslahat. Serta memberikan upah yang sesuai dengan kinerja dan keilmuwannya. Sehingga semua ilmu yang dikuasai pelajar dapat menjadi maslahat bagi ummat. Sistem pendidikan akan menyentuh semua lapisan masyarakat dengan mudah dan murah sebab dibiayai oleh Negara. Semua punya hak menikmatinya tanpa memandang agama, suku, warna kulit, dan juga kemampuan materi. Pelajar tidak akan terpikir melakukan sex bebas, incest dan bully sebab keimanan yang tertanam dalam hati dan jiwa mereka sejak kecil dari keluarga, contoh perilaku yang ahsan dari masyarakat sekitar hingga tindakan yang tegas dari Negara, akan maksimal menutup pintu-pintu maksiat dan kriminal bagi pelajar.
Sinergis antara dunia pendidikan masyarakat dan keluarga akan berjalan dengan ideal hanya jika Negara juga menerapkan sistem Islam. Negara yang berlandaskan aqidah islam dan menerapkan aturan islam dalam mengatur semua sistem cabang bernegara, akan melahirkan koneksi positif satu sama lain dan saling mendukung. Pendidikan yang sukses harus ditopang sistem ekonomi yang sehat, perilaku politik yang amanah, kesehatan yang menunjang, juga sanksi kejahatan yang tegas hingga kemanan tercipta. Semua aspek ini akan saling menguatkan dan berfungsi membangun generasi masa depan, jika dikelola dengan aturan yang shahih (benar). Dan aturan yang benar itu hanya berasal dari wahyu, yaitu Alqur’an dan Hadist. Wallahu a’alam bissawab.