DEMOKRASI.CO.ID - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang diubah menjadi Cipta Kerja telah diajukan pemerintah ke DPR RI. Dalam RUU itu ternyata tidak hanya mengatur ketentuan yang diklaim bakal memperlancar investasi. Dalam Pasal 87 terdapat sederet perubahan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam pasal 11 UU Nomor 40 Tahun 1999, semula tertulis, “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.”
Dalam RUU Cilaka, ketentuannya diubah menjadi, “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”
Pemerintah juga mengubah pasal 18 UU Pers dalam bab VIII Ketentuan Pidana. Pada Pasal 18 ayat (1), orang yang melawan hukum dan menghambat kerja pers dihukum penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
Ketentuan ini diperberat oleh pemerintah menjadi penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Lalu hukuman bagi perusahaan pers atau media yang tidak melayani hak jawab dan pemberitaan peristiwa sesuai norma agama, kesusilaan, dan asas praduga tak bersalah juga diperberat sesuai Pasal 18 ayat (2).
Masih dalam pasal tersebut, hukuman ini juga mencangkup ketentuan dalam pasal 13 yaitu larangan memuat iklan merendahkan martabat agama, terkait minuman keras, narkotika, dan zat aditif, dan wujud rokok.
Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999, hukumannya dipidana dengan denda paling banyak Rp500 juta. Dalam RUU Cilaka ketentuannya diubah menjadi denda paling banyak Rp2 miliar.
Terakhir pasal 18 ayat (3) juga diubah terkait hukuman bagi pelanggaran badan hukum (pasal 9 ayat 2) dan kewajiban pers mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab (pasal 12). Hukumannya diperingan dari denda paling banyak Rp100 juta menjadi sanksi administratif. Menurut RUU Cilaka, sanksi administratif ini akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Abdul Manan menilai perubahan pasal terkait pers ini patut diwaspadai. Ia bilang pada pasal 11 perlu diperjelas bilamana perusahaan pers kini masih bisa memperoleh modal dari asing atau sama sekali tidak mungkin.
Menurut Manan, modal asing di bidang Pers kerap diperlakukan berbeda dari investasi umumnya dan cenderung mendapat pandangan negatif padahal ia menilai selama mendorong kesejahteraan wartawan dan memajukan pers nasional itu tidak apa.
Di sisi lain, kata Manan, pemberatan sanksi bagi perusahaan media juga mengkhawatirkan. Pasalnya, jangan sampai penambahan denda ini jadi modus baru untuk membungkam media dan wartawannya.
Belum lagi ia menilai perlu ada kepastian kerja dewan pers bisa lebih layak sehingga tidak dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab untuk membangkrutkan perusahaan media.
“Pemberian sanksi harusnya lebih Pendidikan korektif. Makanya sanksinya semangatnya tidak membunuh,” ucap Manan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (14/2/2020).
Catatan lainnya, Manan juga menyoroti upaya pemerintah membuat peraturan pemerintah lanjutan untuk pasal 18 ayat (3). Menurutnya hal ini perlu diwaspadai agar jangan sampai PP yang dibuat kemudian menjadi pintu masuk pemerintah melakukan campur tangan dalam urusan pers.