DEMOKRASI.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi mengusulkan tarif cukai plastik Rp 30 ribu per kilogram. Usulan ini diajukan karena pungutan biaya kantong kresek alias kantong belanja selama ini di supermarket tidak jelas peruntukannya.
“Tidak jelas penerimaannya sendiri,” kata Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020.
Selama ini, kata dia, pungutan kantong kresek di supermarket hanya dilakukan atas dasar Peraturan Daerah atau Perda di 22 kota. Untuk itu, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai plastik ini agar ada keseragaman secara nasional.
Dengan angka ini, maka tarif cukai yang akan dikenakan yaitu Rp 200 per lembar. Dengan begitu, harga kantong plastik setelah cukai sebesar Rp 450 sampai Rp 500 per lembar.
Lalu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) atau retailer akan mengenakan harga Rp 200 sampai Rp 500 per lembar. Menurut dia, penerapan tarif ini pun bakal mendorong inflasi 0,045 persen.
Sri Mulyani mengusulkan cukai ini diterapkan pada kantong plastik dengan ukuran 75 mikron atau yang biasa dikenal kantong kresek. Namun, masih ada pengecualian untuk sejumlah barang. Contohnya barang non-fabrikasi seperti kantong plastik gula.
Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Nasrudin Joko Surjono, sebelumnya, mengatakan uang hasil cukai ini bukan untuk menambah pendapatan negara. Penerimaan dari pungutan cukai ini akan dialihkan untuk penanganan sampah dari kantong plastik tersebut.
"Uang itu nantinya juga recycle lagi ke masyarakat,” kata Joko dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat, 12 Juli 2019. Recycle yang dimaksud oleh Joko adalah menggunakan dana cukai ini untuk pengelolaan sampah, sehingga pengendaliannya di masyarakat bisa efektif.
Rencana pemerintah terserbut telah memicu protes meluas dari para pelaku industri yang menggunakan plastik. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat salah satunya yang mengaku miris.
Sebab, menurut dia, akar permasalahan saat ini sebenarnya adalah sampah yang berserakan dimana-mana dan tidak diolah dengan baik. Tapi, kebijakan yang diambil pemerintah justru menerapkan cukai plastik, bahkan larangan penggunaan bahan berbahan dasar plastik, bukan manajemen pengelolaan sampah.
Tak hanya mekanisme cukai untuk pengelolaan sampah kantong plastik yang belum selesai, namun juga pembagian tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Anak buah Sri Mulyani menyebut cukai ini sebagai indirect tax yang akan dibebankan kepada produsen. “Nah kalau untuk barang yang inelastis, produsen bisa teruskan ke konsumen, tapi kalau untuk barang elastis, ini yang perlu dikaji lagi,” kata Rachmat.