DEMOKRASI.CO.ID - Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga mengatur kamar tidur orang tua dan anak harus dipisah. Hal itu dalam bagian ketiga undang-undang terkait pemenuhan aspek ketahanan keluarga.
Pasal 33 ayat (1) huruf a mengatur keluarga bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni.
Tempat tinggal layak huni dirincikan dalam pasal 33 ayat (2) yang berbunyi:
Tempat tinggal yang layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki karakteristik antara lain:
a. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik;
b. memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara Orang Tua dan Anak serta terpisah antara Anak laki-laki dan Anak perempuan;
c. ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatan seksual.
Pasal 36 menambahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah punya tanggung jawab memenuhi tempat tinggal layak huni. Ayat (2) pasal tersebut menyediakan empat opsi bagi pemerintah.
Empat cara itu adalah bantuan dana renovasi rumah tidak layak, subsidi rumah layak huni, keringanan pinjaman kredit untuk renovasi atau pembangunan rumah layak huni, serta penyediaan rumah susun umum dan rumah bersubsidi yang layak huni.
Salah seorang penggagas RUU Ketahanan Keluarga, Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, mengaitkan aturan itu dengan perilaku inses. Penggabungan kamar, kata dia, berpotensi memicu inses antaranggota keluarga, kata Netty.
"Ternyata anak umur 7 tahun bisa mencabuli adiknya lima tahun. Kenapa? Dimulai dari keluarga, rumahnya tidak memisahkan kamar tidur orang tua dan anak, kan seperti itu," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2).
RUU Ketahanan Keluarga masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2020 bersama 49 RUU lainnya. Draf aturan ini diajukan Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, dan Ali Taher Parasong dari Fraksi PAN. [cn]