DEMOKRASI.CO.ID - Omnibus law cipta kerja yang telah diterima DPR belakangan ini justru memantik polemik di lini masa. Rancangan Undang-Undang (RUU) setebal 1.028 halaman yang merevisi 79 RUU, 15 bab, dan 1.244 pasal itu dianggap masih banyak kontroversi. Salah satunya terkait bidang atau klaster ketenagakerjaan.
Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia Payaman Simanjuntak mengungkapkan aspek ketenagakerjaan dalam omnibus law tersebut tidak banyak berubah. “Perubahan hanya pada kompensasi penghargaan masa kerja serta penambahan jaminan kehilangan pekerjaan.
Selebihnya, relatif tidak berubah,” terang Payaman dalam percakapan dengan Efi Susiyanti dari SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.Melihat beragam keberatan atas sejumlah pasal tersebut, Payaman menilai publik bisa terbuka mengkritik dengan menginventarisasi masalah. Berikut kutipan wawancaranya lengkapnya.
Bagaimana Anda melihat perbandingan UU Ketenagakerjaan sekarang dan omnibus law?
Omnibus law sangat ambisius sekali dalam penanaman modal. Namun dalam pelaksanaannya, untuk perluasan kesempatan kerja itu sangat bergantung pada pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota. Kalau sikap mental para bupati masih tetap kurang memberi perhatian pada usaha UMKM, hasilnya tetap saja.
Bagaimana perlindungan hak buruh dalam rancangan beleid baru ini?
Pada dasarnya sama saja. Artinya, sekarang buruh kita sudah terlalu lama dilindungi, dimanja, sehingga daya saing mereka untuk globalisasi tidak bisa lagi bersaing. Seperti dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), kita kan harus sudah bebas. Sampai saat hari ini, kita masih perlakukan harus ada izin.
Namun, pekerja merasa tidak dilibatkan dalam penyusunannya. Tanggapan Anda?
Masyarakat bisa terlibat secara aktif. Sekarang omnibus law sudah tersedia, banyak buruh sudah dapat. Dalam pembahasan nanti, setiap partai membuat DIM (daftar inventarisasi masalah). Di dalamnya menyempurnakan, melakukan amandemen, dan melakukan perubahan. Begitu juga kelompok masyarakat, terutama pekerja/buruh, mereka juga dapat menyusun DIM. Buruh dapat mengajukan kepada salah satu partai politik atau pemerintah supaya nanti diajukan dalam pembahasan.
Kritik juga menyangkut pemberian upah didasarkan pada provinsi (UMP). Ini solusi yang baik?
Saya kurang yakin nanti tidak ada UMK (kabupaten/kota). Namun, kalaupun itu hanya UMP, berarti hanya yang paling rendah di seluruh provinsi. Kalau ada kabupaten yang menetapkan lebih dari itu, tidak masalah. Yang tidak boleh itu kalau lebih rendah dari yang ditetapkan provinsi.
Ada program jaminan kehilangan pekerjaan. Akankah ini berjalan efektif?
Kalau negara bersedia untuk menanggungnya itu bagus. Karena orang yang kehilangan pekerjaan nanti belum tentu cepat dapat pekerjaan baru, selama mencari pekerjaan baru masih mendapat dukungan. Hanya saja, dalam RUU itu belum disebut besaran dan siapa yang bayar iuran tersebut. Baru disebut akan diatur melalui peraturan pemerintah.
Penghapusan Pasal 59 dianggap kontroversi. Ini dianggap mengeksploitasi pekerja?
Iya. Pasal yang dihapus pada dasarnya sudah tercakup pada pasal-pasal yang disisipkan. Waktu kerja sudah ditentukan, disebutkan jam kerja boleh tetap 8 jam maksimum satu hari. Hanya satu perubahan, waktu lembur maksimum 4 jam dalam satu hari, 18 jam dalam satu minggu. Dulu 3 jam maksimum sehari, sekarang maksimum 4 jam.
Uang penghargaan kerja juga akan dipangkas…
Hanya maksimum kalau orang yang kerjanya sudah 21 tahun lebih. Tadinya bisa jadi 10 bulan gaji, sekarang hanya 8 kali. Namun, uang pesangon yang maksimum 9 bulan gaji itu tidak diubah.
Apakah ini akan merugikan pekerja?
Memang merugikan. Namun, kita juga harus sadar bahwa uang pesangon yang ada di Indonesia ini termasuk uang pesangon yang paling tinggi di dunia. Itu sebenarnya terlalu memberatkan pengusaha. Kalau nanti buruh tetap mau bertahan, harus mendekati salah satu partai supaya nanti dimasukkan dalam DIM mereka.
Konon, pekerja yang di-PHK tidak bisa menggugat perusahaan lagi nanti?
Bukan. Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengatakan, tidak boleh perusahaan sembarang melakukan PHK. Pasal yang dihapus itu adalah yang melakukan kesalahan berat. Semuanya harus ditetapkan oleh pengadilan. Pasal yang dihapus itu sudah tidak ada artinya.