logo
×

Minggu, 23 Februari 2020

Pesantren, Jantung Nasionalisme Indonesia

Pesantren, Jantung Nasionalisme Indonesia

DEMOKRASI.CO.ID - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Prof. Yudian Wahyudi ditantang. Penantangnya adalah jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M. Massardi.

Adhie Massardi merasa terusik dengan berbagai pernyataanYudian Wahyudi yang menurutnya ahistoris sehingga cenderung membenturkan agama dan Pancasila.

Adhie memutuskan untuk mensarikan tulisannya yang berjudul “Hikayat Resolusi Jihad” yang telah dimuat di harian Suara Pembaruan pada Senin, 11 November 2013.

“Ringkasan ini muncul dipicu oleh beberapa pernyataan Kepala BPIP tentang agama (Islam) yang ngaco,” ujar Adhie.

Jadi tulisan ini khusus ditujukan bagi Kepala BPIP Yudian agar paham sejarah Islam di Indonesia, yang merupakan embrio  nasionalisme di Indonesia. Saya menantang dia, kalau bisa bantah pandangan ini. Tapi kalau tidak bisa, saya minta ke dia agar tulisan ini dijadikan bacaan wajib di BPIP,” demikian Adhie.

Berikut adalah tulisan Adhie yang diberi judul “Pesantren, Jantung Nasionalisme Indonesia” itu:

“APA hukumnya bagi umat Islam membela Tanahairnya?”

Dalam film Sang Kiai besutan sutradara Rako Priyanto (2013), riwayat Resolusi Jihad digambarkan dengan lugas lewat adegan utusan Bung Karno menghadap KH Hasyim Asy’ari. Dalam versi lain, konon Sang Proklamator sendiri yang datang ke pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur untuk menemui Sang Kiai guna meminta fatwa “hukumnya bagi umat Islam membela Tanahairnya.”

Tidak penting menelisik versi mana yang benar. Yang perlu kita cermati adalah, kenapa Sukarno perlu datang (atau kirim utusan) ke Tebuireng nemui Rois Akbar NU itu? Kenapa tidak menemui, misalnya, pimpinan partai atau kelompok-kelompok pergerakan yang kala itu juga banyak dan memiliki basis massa besar, untuk bicarakan bagaimana menghadapi kedatangan pasukan Sekutu yang hendak ngembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia?

Dalam berbagai risalah sudah dijelaskan, pengaruh KH Hasyim Asy’ari di kalangan umat Islam sangat besar. Sedang pemimpin kelompok-kelompok perlawanan bersenjata pada zaman itu, terutama yang tergabung dalam Peta (Pembela Tanahair), adalah para kiai. Makanya para sejarawan hanya menilai pilihan Sukarno tepat temui KH Hasyim Asy’ari. Sebagai tokoh Islam kharismatik, beliau mampu menggerakkan umat.

Benar, sejarah memang hanya mencatat respon atas kegundahan Soekarno itu, KH Hasyim Asy’ari bersama KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri dan para founding father NU lainnya, pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad: perintah bagi seluruh umat Islam, khususnya di Jawa Timur, untuk berjuang di Jalan Allah demi negara-bangsa.

Maka ketika pasukan Sekutu dengan mesin pembunuh yang baru saja digunakan memenangi Perang Dunia II tiba di Surabaya, ribuan santri menyongsongnya hanya dengan bekal pisau, pedang, bambu runcing dan beberapa pucuk senjata rampasan dari tentara Jepang. Tentu saja dalam tempo sekejap mereka bertumbangan. Tapi dunia kemudian menyatat, darah para syuhada di Surabaya itu berubah menjadi neraka bagi Sekutu.

Jantung Nasionalisme

“Pertempuran Soerabaia” yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 itu sesungguhnya bukan peristiwa sederhana yang bermula dari pertanyaan Bung Karno kepada KH Hasyim Asy’ari tentang hukumnya umat Islam membela negaranya. Dan Resolusi Jihad bukan pula sekadar respon Sang Kiai atas kecemasan Sang Proklamator karena negara yang baru beberapa pekan dimerdekakan itu sudah terancam dikuasai kembali Belanda.

Sebagai pecandu sejarah, Bung Karno sangat paham pesantren adalah cikal-bakal munculnya rasa “senasib sepenanggungan” di kalangan suku-suku bangsa di Nusantara yang pada akhirnya melahirkan gagasan “sebangsa dan setanahair”, sehingga pesantren menjadi embrio sekaligus “jantung nasionalisme Indonesia” yang akan terus berdenyut.

Itu sebabnya dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Southeast Asia Program, 1952), tanpa keraguan, sejarawan George McTurnan Kahin (1918-2000) menyimpulkan: “Nasionalisme Indonesia berakar pada tradisi Islam di Nusantara”. Kita tahu, tradisi Islam Nusantara itu hidup dan dipertahankan di pesantren!

Michael Laffan, sejarawan lain dari Princeton University, AS, lewat dua bukunya, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds dan terutama The Makings of Indonesian Islam menjelaskan lebih rinci tentang bangunan “nasionalisme Indonesia” yang dirancang dari pesantren itu.

Sebenarnya memang tidak sulit memahami pandangan kedua sejarawan AS itu. Sebab kita tahu, sejak Terusan Suez dibuka (1859), jalur pelayaran Eropa - Nusantara pergi-pulang kian ramai, dan pelabuhan Jeddah menjadi salah satu persinggahan penting. Sehingga sejak paruh akhir abad ke-19 terjadi lonjakan luar biasa perjalanan haji umat Islam dari antero Nusantara: Andalas, Java, Borneo, Celebes, Maluku, Sumbawa dan dari pulau-pulau lainnya.

Kebersamaan selama berbulan-bulan pelayaran dan bertahun-tahun mukim di Hijaz (Mekah dan Madinah) di antara para "jamaah haji" yang merupakan kader unggulan pesantren itu, menumbuhkan rasa senasib dan persaudaraan yang terus menguat, dan dengan penuh gairah mereka tanamkan kepada masyarakat lahan khidmah mereka (pesantren) sepulang dari Tanah Suci.

Fakta sejarah inilah, sesungguhnya, yang mendorong Sukarno merasa wajib datang ke Tebuireng, memohon pada Sang Kiai untuk “memompa jantung nasionalisme Indonesia” agar berdenyut kembali. Karena di kota-kota, di kalangan intelektual dan kaum pergerakan, denyut nasionalisme itu seperti mendadak berhenti begitu pasukan Sekutu dengan, tipu daya dan mesin perangnya yang dahsyat, berada di pelupuk mata. Akibatnya, terjadilah demoralisasi di kalangan pendukung kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan Sukarno-Hatta.

Apa yang dicemaskan Soekarno sebenarnya juga dirasakan Sang Kiai. Makanya, nyaris tak ada perdebatan ketika Resolusi Jihad diserukan. Sang Kiai bukannya tidak paham seruan jihad itu berarti menggiring para santrinya ke ladang pembantaian, mengingat pasukan Sekutu sangat terlatih dan memiliki mesin perang canggih.

Tapi sejarah kemudian mencatat, Resolusi Jihad menjadi “defibrilator” menstimulasi detak jantung nasionalisme Indonesia hidup kembali. Menyulut pertempuran di banyak kota di Nusantara. Membuat darah perlawanan kalangan intelektual dan kaum pergerakan mengalir kembali.

Bagi Sang Kiai (pesantren dan NU), juga KH Amad Dahlan Sang Pencerah (Muhammadiyah) Indonesia adalah martabat. Harga diri. Maka memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia sesungguhnya menegakkan harga diri. Sehingga mempertahankan NKRI adalah mempertahankan harga diri. Inilah yang mendorong keluarnya Resolusi Jihad itu.(rmol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: