DEMOKRASI.CO.ID - Periode ke-2 kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya menjadi situasi yang perlu dipertimbangkan bagi orang nomor satu di Indonsia itu. Pasalnya, berbagai kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat serta kasus korupsi terus mewarnai kinerja pemerintah.
Sebut saja kasus Jiwasraya, yang mengakibatkan kerugian negara hingga mencapai sekitar Rp13,7 triliun. Tentunya membuat Menteri BUMN Erick Thohir bekerja keras dalam menyelesaikan skandal tersebut.
Belum lagi terkait kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan, yang melibatkan nama kader PDI-P, kasus ini sekaligus menguji ketajaman Ketua KPK yang baru, yakni Firli Bahuri. Namun, ironisnya, tiga penyidik KPK, yakni jaksa Yadyn dan Sugeng, maupun kompol Rozsa dikembalikan kepada instansinya masing-masing.
Digadang-gadang, dia diantaranya merupakan penyidik kasus suap Harun Masiku. Sementara Sugeng adalah ketua tim pemeriksa dugaan etik Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK. Pemeriksaan etik berkaitan dengan dugaan pertemuan Firli dengan mantan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi.
Belum sampai disini, informasi simpang siur tentang keberadaan Harun Masiku yang menjadi buronan juga mewarnai perselisihan antara KPK, Menkum HAM Yasonna Laoly dan pihak Imigrasi, sehingga berujung pada pemecatan terhadap Dirjen Imigrasi , Ronny Sompie.
“Presiden Jokowi terpilih kedua tahun 2019 dengan berbagai upaya. Indikasi curang yang melibatkan KPU berproses hingga sidang MK. Namun MK membuldozer gugatan pasangan Prabowo Sandi. Dikalahkan dengan telak. Prabowo menyerah dan siap mengabdi sebagai Menteri.
Setelah Jokowi dilantik KPK dilemahkan dengan Revisi UU KPK. Nyatanya memang KPK lumpuh. Menghadapi kasus suap PDIP saja nampaknya KPK belepotan. Upaya Menangkap Harun berputar putar. Cerita membosankan.
Kini tahun 2020 penuh dengan misteri. Misteri untuk berapa lama bertahan. Orang dekat Presiden sudah mulai goyah,” ujar pemerhati politik M Rizal Fadhillah, dikutip dari keterangan tertulisnya.
Adapun menurutnya, kebijakan pemerintah mengevakuasi WNI yang terkena virus Corona di Pulau Natuna merupakan sebuah manuver. “Virus corona menjadi lawan prioritas. Jokowi coba melompat ke sana sini hingga ke Timur Tengah. Tapi itu bisa tak berarti. Ia sudah terkepung dari semua sisi,” tambahnya.
Cina bisa marah karena terkhianati. Ia coba menggertak dengan manuver coast guard di kepulauan Natuna. Namun sang virus terlalu cepat datang hingga konsentrasi menjadi hilang. Situasi domestik rawan dan perlu penanganan. Xi Jinping mulai seperti orang sinting. Panik warganya diusir usir. Etnis Cina dibenci dan “ditakuti” karena sumber dan penyebar penyakit.
Selain itu, pada tahun 2020 ini menurutnya merupakan tahun paling rawan. “Tidak akan kuat hingga 2024, angin bertiup tak terduga. Jiwasraya menjadi pembuka malapetaka bagi istana. Kasus semakin banyak terbuka, dan akyat gelisah tak jelas akan dibawa kemana oleh sang pemimpin.
“Bisa bisa 2020 menjadi tahun Jokowi “hands up” tak mampu berdiri lagi. karena rakyat tentu berfikir mencari opsi yang terbaik. Negeri tak bisa dibiarkan tenggelam bersama kerakusan para penikmat kekuasaan,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Center for Democracy and Economic Studies Edy Mulyadi mengemukakan, selama lebih lima tahun terakhir. Rakyat terus-menerus dibebani dengan aneka tarif dan harga yang mahal.
Tarif dasar listrik (TDL) naik awal tahun ini, dan hal yang serupa juga terjadi pada tarif premi (pemerintah ngotot menyebutnya iuran) BPJS Kesehatan naik untuk semua kelas. Padahal, penguasa sudah sepakat dengan DPR bahwa yang naik hanya untuk premi kelas 1 dan 2. Tapi begitulah kekuasaan yang dibangun dengan kebohongan.
“Kalau kesepakatan dengan DPR, sebuah lembaga terhormat yang tercantum dalam konstitusi saja bisa pemerintah ingkari, tentu bukan hal aneh jika penguasa dengan gampang menyengsarakan rakyatnya sendiri,” ujar Edy, dikutip dari keterangan persnya.
Ia menjelaskan, bahwa kemarahan rakyat juga kian dipicu dengan parade mega korupsi yang satu per satu terkuak ke publik. Skandal mega korupsi Jiwasraya Rp13 triliun dan Asabri yang sekitar Rp10 triliun, menambah panjang daftar keserakahan elit ekonomi dan politik negeri ini.
Konon, lanjutnya, sebentar lagi juga bakal meledak kasus Bumiputra dan sejumlah BUMN lain. Belum lagi kasus kondensat yang merugikan negara hingga Rp35 triliun yang sampai kini tidak mangkrak dan tidak jelas penyelesaiannya. “Kemarahan rakyat pun bakal tak terbendung. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung dan ketidakadilan, bukan mustahil akan berujung pada terjadinya kerusuhan sosial,” tutupnya.