DEMOKRASI.CO.ID - Detail tata ruang (RDTR) kini menjadi kewenangan pusat. Izin mendirikan bangunan (IMB) bukan lagi menjadi kewajiban untuk membuka usaha. Lalu, izin analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) bukan lagi syarat memperoleh izin usaha. Izin amdal sekarang diganti pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.
Itulah sejumlah perubahan krusial berkaitan dengan pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman mempertanyakan kewenangan tata ruang yang ditarik ke level yang lebih tinggi. “Bisa langsung mulai?” ujarnya.
Selama ini, urusan RDTR dan IMB itu berada di tangan pemerintah daerah (pemda). RUU Cipta Kerja menyimpan beberapa masalah dari sisi substansi dan hukum ketatanegaraan. Salah satu masalah, menurut Herman, ketika ada tumpah tindih tata ruang malah diselesaikan lewat peraturan presiden (perpres). Ini tertera dalam Pasal 6 ayat (5) UU Cipta Kerja. “Perpres ini aturan lebih rendah (dari UU),” tuturnya.
Tiga aturan mengenai RDTR, IMB, dan amdal dalam RUU Cipta Kerja lebih longgar dibandingkan UU yang selama ini berlaku. UU terkait itu adalah Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2002, IMB merupakan bagian syarat administratif dalam mendirikan bangunan.
Dalam RUU Cipta Kerja, beleid itu diganti dengan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko.
Anehnya, meski hilang mengenai aturan adanya IMB, pada Pasal 141 muncul ketentuan retribusi dari IMB. “Ini sesuatu yang tidak konsisten,” ujar peneliti KPPOD lainnya, Henny Prasetyowati. Wali Kota Bogor Bima Arya langsung bereaksi dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penghapusan IMB. “Yang diperlukan penyederhanaan perizinan,” ucap politikus Partai Amanat Nasional itu.
Ernan Rustiadi, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan ketentuan mengenai tata ruang harus memiliki beberapa tujuan, seperti meningkatkan produktivitas dan keamanan, baik dari bencana maupun kenyamanan hidup. “Jangan sampai UU baru ini memberikan kelonggaran-kelonggaran,” ucapnya kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.
Ernan juga menilai pemindahan kewenangan mengenai RDTR dari daerah ke pusat tidak tepat. Di berbagai negara, kewenangan tata ruang justru diberikan ke daerah atau dilokalkan. Ernan menerangkan negara yang market oriented atau lebih kapitalis dari Indonesia sudah menerapkan kebijakan itu. “Kalau berbicara tata ruang, justru relatif terbalik,” ujarnya.
Ernan pun berpendapat amdal itu tidak bisa ditawar. Sistem yang terlalu longgar, menurutnya, justru akan menyebabkan banyak bencana. Ia mengatakan pemerintah harus lebih ketat lagi untuk urusan amdal. Pria kelahiran 1965 itu mengungkapkan pentingnya perhatian dalam menjaga lingkungan. Upaya dan tujuan untuk mendatangkan investasi bisa buyar apabila banyak bencana. “Apakah makin menarik (bagi investor)?” terangnya.
Terkait tidak adanya amdal, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, hanya berlaku untuk kawasan industri yang sudah sesuai peruntukannya. Ketua Umum Partai Golkar itu juga menerangkan IMB tidak perlu apabila bangunan sesuai bentuk dan spesifikasinya standar. Pemerintah memang sepertinya ingin memberangus hambatan dalam investasi, terutama pengadaan tanah.
Ini biasanya terkait dengan perizinan dan RDTR. Nantinya, pemerintah pusat akan turun tangan langsung dalam pengadaan tanah untuk kegiatan usaha. Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin seperti ingin menghamparkan karpet merah sehingga para pengusaha atau investor tinggal melenggang saja. “Tinggal menjalankan investasinya,” terang Airlangga.
Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Jerry Even Sembiring menilai omnibus law cipta kerja berpotensi menghadapkan Indonesia pada krisis lingkungan yang jauh luar biasa dibandingkan saat ini. Ini terlihat dari prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak.
Pada Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bertanggung jawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Namun dalam RUU Cipta Kerja, pasal ini dihapuskan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai tidak adanya IMB dan amdal akan berdampak pada semakin masifnya kerusakan ekologi dan ancaman bencana. Ia mengatakan ketiadaan amdal akan membuka kemungkinan pembangunan properti dilakukan di kawasan yang bukan peruntukannya, seperti wilayah resapan air.
Omnibus law ini memang memberikan kemewahan bagi para pengusaha kakap, terutama dalam hak pengelolaan lahan (HPL). Masa waktu HPL bisa mencapai 90 tahun. Menurut Dewi, dari situ bisa diterbitkan hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan, dan hak pakai. “Dari HPL itulah yang akan diterbitkan izin konsesi untuk perkebunan besar,” pungkasnya.