DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo mengingatkan bawahannya untuk mengebut draf Omnibus Law untuk segera dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Harus ada target waktu untuk bisa menyelesaikan revisi bersamaan 74 peraturan perundang-undangan tersebut.
"Saya minta agar RUU-nya, naskahnya selesai dalam minggu ini," kata Jokowi, dalam pengantar rapat kabinet terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 15 Januari 2020.
Keinginan Presiden melalui Omnibus Law ini, tentu tidak berjalan mulus. Beberapa kelompok masyarakat, seperti dari buruh, ada juga yang menolak. Terhadap sejumlah organisasi, Jokowi meminta Polri hingga Badan Intelijen Negara (BIN), untuk melakukan pendekatan dan komunikasi. Agar kebijakan itu bisa dipahami.
"Kepada kapolri, kepala BIN, jaksa agung dan seluruh kementerian yang terkait, yang berkaitan dengan komunikasi, yang dulu saya sampaikan ini juga agar pendekatannya kepada organisasi-organisasi yang ada juga dilakukan," tutur Presiden.
Harapannya dengan begitu, saat draf ini diajukan ke dewan juga bersamaan dengan pendekatan ke organisasi-organisasi itu juga. Jokowi menegaskan, Omnibus Law ini tidak boleh pembahasannya berjalan molor. Harus bisa dituntaskan dalam kurun tahun ini juga.
"Kita menargetkan Omnibus Law ini selesai sebelum 100 hari kerja. Target kita harus selesai sehingga ada time frame yang jelas," katanya.
Sebelumnya, para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melakukan demonstrasi nasional pada 15-16 Januari 2020. Demonstrasi tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menganggap penolakan tersebut terjadi karena Omnibus Law tersebut berisi aturan-aturan yang mengancam kesejahteraan dan masa depan para buruh di Indonesia. Misalnya, sistem pengupahan per jam tanpa adanya jaminan upah minimum per jam.
"Oleh karena itu kami menolak upah per jam karena akan mereduksi UMP (Upah Minimum Provinsi). Di konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) itu ada UMP, itu sebagai jaring pengaman agar siapa pun yang terima upah dia tidak absolut miskin, makanya keluar standard living cost," tuturnya di Kantor LBH Jakarta, Sabtu 28 Desember 2019.