OLEH: ZENG WEI JIAN
BANJIR lagi. Di hari biasa. Klaim banjir di hari libur karena doa gubernur soleh patah. Air tak kenal hari.
Polemik Jakarta masuk ILC. Dua kubu kontra dikonfrontir. Ada kubu netral Indo Barometer M. Qodari. Surveinya menghasilkan kesimpulan; Pada persoalan mengatasi banjir, Anies Baswedan di bawah Jokowi dan Ahok.
Ahok dapet 40 persen, Jokowi 25 persen, dan Anies Baswedan 4 persen.
Survei dimasalahin. Samplingnya dari seluruh Indonesia. Pro Anies stressing data-based system sebagai alat ukur kinerja.
Tahun 2015, ada 702 RW tergenang banjir. Sekarang di tahun 2020, jumlah itu turun jadi 390 RW. Jadi Anies Baswedan berhasil turunkan zona banjir.
Teddy Gusnaidi dari PKPI membantah dengan menyatakan Ahok mengurangi kawasan banjir dari 2.200 tinggal 80 titik.
Survei bukan masalah data. Tapi persoalan persepsi. Publik seluruh Indonesia menilai Jokowi dan Ahok lebih capable handle banjir. Pemberitaan televisi berperan membentuk opini.
Anggota Dewan PDI-P Ida Mahmudah menuding Anies Baswedan tidak punya konsep preventive. Hanya turun saat banjir datang. Beda dengan Jokowi yang dinilai punya grand scenario solusi banjir masa depan.
Geist cholifah pro Anies menggelar fakta banjir hantam Jakarta sejak zaman dulu. Siapa pun gubernurnya.
Haters menyimpulkan strategi ini sama artinya menyerang semua gubernur pendahulu ngga sanggup handle banjir.
Bawa-bawa pendahulu berfungsi sebagai apologetic. Seolah menggunakan fenomena bandwagon effect. Karena yang lain begitu, ya nggak apa-apa dong kalau sekarang juga begitu. Pola pikir ini identik dengan "Asch paradigm".
Akhirnya Teddy Gusnaidi menghina geist cholifah sebagai "komisaris Ancol rasa jurubicara".
Paling sakit saat Teddy Gusnaidi mengatakan tidak benar bila menyatakan Anies Baswedan engga kerja. Justru karena dia kerja maka Jakarta jadi rusak.
Kalau Anies Baswedan tidur saja maka Jakarta akan baik. Karena Jakarta autopilot berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme yang diciptakan pendahulunya.
Paling brutal adalah serangan Guntur Romli yang mengulang adagium "Anies Baswedan menang pilkada karena dagang ayat dan mayat".
Faktanya seperti ini; Ahok dan Anies Baswedan masuk ronde II pilkada. AHY tumbang. Salah satu kunci sukses tim kampanye Basuki-Djarot adalah teror emak-emak. Dikatakan "KJP hilang jika Ahok kalah".
Para suami marah. Teror psikologis dibalas dengan ancaman enggak menyolati mayat Ahoker.
Check file lama. Anies-Sandi justru merilis perlawanan. Tolak ancaman. Menentang arus. Mereka yang akan memimpin sholat jenazah apapun pilihan politiknya. Keduanya tak ragu ambil resiko kehilangan suara haters Ahok yang bisa dikapitalisasi menjadi voters.
Paling teduh adalah statemen Anggota Dewan Syarif M.Si dari Fraksi Gerindra. Dia menyatakan kelemahan Anies Baswedan hanya satu yaitu enggak bisa marah.
Statement Syarif bagai tetesan air di gurun pasir yang terik. Jernih. Dingin. Menyegarkan. Khas tipikal semua kader Gerindra. Negara aman bila dipimpin oleh Partai Gerindra yang punya skill komunikasi dengan semua element.
Teddy Gusnaidi mengkonkritkan analisa Syarif. Hasilnya outcome solusi; Anies Baswedan harus segera punya Wakil Gubernur. Maka Ariza Patria sebaiknya lekas dilantik.
Solusi cadaz. Briliant. Jitu. Keren. Bukti baru kader Gerindra seperti Ariza Patria memang diterima semua golongan. Bahkan oleh mereka yang kritis dan oposisi.
Ngomong soal Jakarta, Jenderal Sutiyoso sing ada lawan. Gubernur terbaik. Solusi banjir ya normalisasi sungai. Relokasi. Enggak masalah geser warga. Effect urbanisasi adalah penyempitan 13 sungai. Orang pada tidur di bantaran.
Jenderal Sutiyoso mengatakan Anies Baswedan engga usah takut. Bangun rusun. Dialog. Pindahkan urban.
Pasti ada perlawanan dari LSM recehan dan aktivis jadi-jadian. Dimensi politik menggiurkan. Enggak heran mereka akan bunyi keras. Supaya mulutnya disumpal duit.
Pilihan cuma dua; turuti keinginan mereka, sumpal mulutnya dengan duit, atau Gebuk...!!
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak).