DEMOKRASI.CO.ID - Peneliti Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Yusfitriadi menyatakan sejak awal memimpin pemerintahan periode kedua, Jokowi sudah menutup ruang untuk hadirnya kelompok oposisi.
“Jadi tidak ada satu kekuatan politik manapun yang diberikan ruang jadi kekuatan politik penyeimbang,” kata Yusfitriadi.
Yusfitriadi mencontohkan ketika partai politik pendukung pemerintah menguasai kursi pimpinan di legislatif, baik DPR, MPR, hingga DPD. Ketua DPR Puan Maharani berasal dari PDIP, Ketua MPR Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, dan Ketua DPD La Nyala Mataliti adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
“Terus kekuatan faksi politik mana yang kemudian jadi penyeimbang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusfitriadi menyatakan yang paling mengagetkan adalah ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga bergabung dalam koalisi pemerintah. Prabowo merupakan lawan Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.
Namun, kata Yusfitriadi, Jokowi berhasil merangkul Prabowo dan juga Gerindra untuk masuk dalam koalisi pemerintah. Prabowo pun dipercaya menjadi Menteri Pertahanan, sementara Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Ini berpotensi yang luar biasa untuk kembali memunculkan kekuatan pemerintahan yang oligarki. Sekarang kemudian sudah terlihat tanda tanda itu, ketika pemerintahan oligarki, maka model pemerintahan otokrasi kemudian tak bisa terhindarkan,” tuturnya.
Pada periode keduanya, Jokowi berhasil menguasai enam partai politik di DPR, antara lain PDI-P, Golkar, PKB, NasDem, PPP, dan Gerindra. Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun telah menguasai 60 persen lebih kursi di DPR.
Dengan demikian, kekuatan pemerintah di parlemen lebih dominan dibandingkan dengan partai di luar koalisi pemerintah, yakni PKS, Demokrat, dan PAN. [ipc]